BORONG, FLORESPOS.net-Lembah Colol terdiri dari lima desa, yakni Colol, Ulu Wae, Ngkiong Dora, Wejang Mali dan Rende Nao.
Desa-desa ini merupakan wilayah penghasil kopi terbesar di Provinsi NTT yang pada tahun 1937 pernah memenangkan kontes kebun yang diadakan Pemerintah Kolonial Belanda.
Sebagai bukti, kemenangan Keboen Bapak Bernadus Odjong yang kalah itu keluar sebagai juara dan dihadiahi bendera tiga warna berukuran 160 centi meter x 200 centi meter.
Saat ini bendera tersebut disimpan di rumah Bapak Aloysius Lesin, warga Kampung Biting, Desa Ulu Wae, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur.
Kehidupan masyarakat Lembah Colol, yang sebagian besar adalah petani kopi sejak dahulu sangat dinamis.
Kopi adalah salah satu sumber penghasilan terbesar untuk menunjang berbagai kebutuhahan hidup.
Kopi menghidupkan ekonomi masyarakat, dari hasil kopi bisa melahirkan banyak Sarjana, kopi untuk memenuhi kebutuhan sosial. bahkan kopi tidak bisa dipisahkan dari kehidupan warga di Lembah Colol.
Cerita kopi dari Lembah Colol sampai ke telinga wisatawan lokal maupun mancanegara, sehingga ada begitu banyak wisatawan yang datang ke Lambah Colol.
Berbagai jenis kopi yang ditanam petani Lembah Colol. Jenis kopi Arabika, Robusta, Juria, Yellow Catura, Red Catura, dan beberapa jenis kopi lainnya.
Berkat perjuangan para petani, grup asosiasi Asnikom dan para pencinta kopi yang terus melakukan berbagai promosi, kolaborasi lintas sektor.
Sehingga kopi Lembah Colol kini mendunia dan Pada tahun 2015 Kopi Robusta dan Kopi Arabika Lembah Colol dinobatkan sebagai kopi terbaik di Indonesia.
Cerita tentang Kopi Colol tidak pernah berhenti, lalu bagaimana dengan nasib petani kopi Lembah Colol?
Praktik ijon kopi sudah menjadi rahasia umum bagi Petani Kopi Lembah Colol, praktik ijon dari dulu hingga sekarang.
Ijon oleh para pemilik modal dilakukan pada bulan Januari- April. Uang untuk kebutuhan ekonomi rumah tangga, ongkos pembersihan lahan dan kebutuhan lainnya.
Menurut Marsel Kari Nani warga Desa Wejang Mali Senin, (20/6/2023) praktik ijon belum bisa dihilangkan dari petani kopi Lemba Colol.
Hal ini karena petani tidak ada pilihan lain untuk talangi kebutuhan rumah tangga. Satu-satunya cara tercepat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi adalah melalui para tengkulak dengan sistem ijon.
Para pengepul kopi dan untuk di desa belum ada lembaga perbankan yang bisa memberikan kemudahan bagi petani pada musim paceklik.
Kata Marsel, pengambilan uang dengan sistem ijon sebenarnya sangat merugikan petani karena pada musim paceklik petani mengambil uang di pengusaha kopi dengan harga di bawah standar.
Misalnya harga kopi Rp15 ribu per liter pada saat pengambilan uang dan harga saat panen seperti sekarang Rp23 ribu per liter berarti petani mengalami kerugian Rp8.000 per liter.
Dia berharap ada lembaga keuangan yang bisa membantu petani kopi di Lembah Colol sehingga tidak ada lagi cerita Ijon. Saat ini ada koperasi mingguan itu yang banyak diikuti oleh kaum ibu, namun bunga mingguan sangat tinggi. *
Penulis: Albert Harianto / Editor: Anton Harus