LARANTUKA, FLORESPOS.net-Dorotea Du’a Puka, wanita berusia 46 tahun itu duduk termenung sambil menggendong bayi berusia 7 bulan di tangga Gereja Katolik Bokang Wolomatang, Jumat 22 November 2024 sore.
Tatapan mata Dorothea Puka begitu kosong. Kantong matanya masih memerah seperti baru selesai menangis. “Saya ingat kampung dan rumah. Tapi mau bagaimana lagi. Rumah sudah rusak berat dan tidak bisa lagi lihat kampung. Semua barang sudah habis, dan tanaman-tanaman sudah rusak,” kata Dorothea Puka kepada Florespos.net.
Dorothea Puka, salah satu warga terdampak erupsi dahsyat Gunung Lewotobi Laki-laki pada Minggu, 3 November 2024 tengah malam. Dorothea Puka, warga Dusun Goliriang, Desa Klatonlo, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Sampai hari ini, saya masih ingat dan masih trauma dengan kejadian malam itu. Saya rasa ngeri dan masih takut. Malam itu, kami di Kampung Goliriang serasa diserang—seperti kembang api. Batu batu api beterbangan dan masuk sampai dalam rumah. Kami lari keluar rumah cari perlindungan. Mengerikan sekali,” kata Dorothea Puka mengenang kisah malam mencekam itu sambil menahan air mata.
“Sampai pagi baru kami mengungsi dan diarahkan ke Bokang ini. Kami ikut saja dengan kondisi apa adanya. Kami hanya bisa bawah yang bisa kami bawah ke Bokang,” kata Dorothea Puka.
Dorothea Puka bersama suami dan seorang anak yang masih TK sudah lebih dari dua minggu berada di Bokang, Posko Lapangan Terpusat yang disediahkan Pemerintah untuk warga terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki.
Dia mengaku selama dua minggu lebih belum pernah menengok Kampung Goliriang dan melihat rumahnya.
“Rindu rumah. Rindu Kampung Goliriang. Rindu ke kebun, petik buah-buahan dan cabut ubi kayu. Sore begini biasanya duduk di rumah tunggu suami pulang kebun bawah hasil kebun. Sekarang tidak lagi. Dua minggu duduk saja. Sudah jenuh, tidak ada kerja. Duduk dan dipanggil makan, tidak enak, sedih sekali,” kata Dorothea Puka.
Saat ini, kata Dorothea Puka, dia bersama suami pasrah karena semua harta beda dan rumah yang dibangun dengan keringat dan air mata sudah rusak. Tanaman-tanaman pertanian yang ditanam puluhan tahun dan sudah menghasilkan rusak total.
Dia bersama suami dan anak menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. “Kami dengar mau dibangun rumah sementara dan rumah tetap. Semoga bisa lebih cepat di bangun sehingga kami bisa ada di rumah lagi meski tidak di Kampung Goliriang dan suasana berbeda. Kami rindu suasana di rumah,” kata Dorothea Puka.
Dorothea Puka mengaku memilih teras Gereja Bokang sebagai tempat tidur di pengungsian Posko Bokang karena anaknya masih kecil.
Selain mendapat makan dan minum di dapur umum posko serta kebutuhan lainnya, dia mengaku memasak sendiri untuk anak dan saudara-saudari yang lain yang ada di teras Gereja Bokang.
“Kebetulan ada keluarga datang lihat kami dan bawakan kompor jadi saya masak juga nasi untuk anak-anak. Masak air minum dan kebutuhan kecil-kecil saja,” katanya.
Tak jauh beda dengan Regina Seli (52) dan suaminya Nikolaus Tanga (52), warga Desa Hokeng Jaya tepatnya Padang Pasir.
Regina Seli mengaku sudah merasa jenuh, bosan, dan melelahkan, karena sebagai petani, biasanya setiap hari pergi ke kebun dan mengurus hewan ternak. Biasanya pergi pasar jual hasil pertanian dan peternakan.
“Di Bokang sejak Senin (4/11/2024) siang sampai sekarang. Sekarang hanya duduk-duduk saja. Sudah dua minggu lebih mau tiga minggu begini saja. Tidak kerja dan tidak ada hasil. Belum pernah lihat rumah dan kampung. Semoga bencana ini cepat berlalu,” kata Regina Seli, di Posko Bokang, Jumat, 22 November 2024.
Regina Seli dan Nikolaus Tanga yang memilih teras Gereja Bokang sebagai tempat untuk berteduh dan tidur mengaku sudah sangat rindu melihat rumah dan kebun di Desa Hokeng Jaya lagi.
“Rindu suasana rumah. Mudah-mudahan pemerintah lebih cepat bangun rumah sementara, biar tidak di tenda dan teras ini lagi. Sebentar lagi sudah masuk musim hujan,” kata Regina Seli diamini Nikolaus Tanga.
Bangun Hunian Sementara
Mengutip Kepala BNPB Letjen TNI Dr. Suharyanto dalam Rapat Tingkat Menteri (RTM) yang diadakan di Kantor Kemenko PMK pada Rabu (20/11/2024), menyampaikan, sebagai bagian dari upaya untuk memfasilitasi relokasi, BNPB merencanakan pembangunan hunian sementara (huntara) bagi 2.209 kepala keluarga (KK) terdampak erupsi.
Kata Suharyanto, pembangunan huntara ini akan dilakukan di empat lokasi potensial di Desa Konga, yang memiliki luas lahan yang cukup untuk menampung warga terdampak.
“Selain itu, warga yang saat ini mengungsi secara mandiri atau tinggal bersama kerabat akan mendapatkan bantuan berupa dana tunggu hunian (DTH) sebesar Rp 500.000 per KK selama 6 bulan,” ucap Suharyanto dalam siaran pers diterima media, Kamis 21 November 2024.
Suharyanto mengatakan, pemerintah terus mempercepat upaya pemulihan dan penanganan dampak bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki, salah satunya merelokasi warga terdampar. Sebanyak 2.209 KK akan direlokasi akibat bencana erupsi tersebut, katanya.
Dua Opsi (Pilihan) Relokasi
Ia menjelaskan, pemerintah telah menyiapkan dua opsi skema relokasi untuk mempermudah masyarakat terdampak dalam memulai kembali kehidupan mereka.
Pertama, adalah relokasi terpusat, di mana pemerintah menyediakan lahan dan rumah yang sudah siap huni bagi warga yang membutuhkan tempat tinggal baru.
Kedua, adalah relokasi mandiri, di mana pemerintah akan membangunkan rumah bagi warga di tanah mereka sendiri, dengan dukungan fasilitas dan infrastruktur yang disiapkan oleh pemerintah.
Dari hasil pendataan sementara terhadap 776 keluarga, sekitar 10 persen memilih opsi relokasi mandiri. Sementara sisanya memilih relokasi terpusat.
“Kami memberikan fleksibilitas bagi masyarakat agar mereka dapat memilih solusi yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka,” kata Suharyanto.
Suharyanto mengatakan, pemerintah berharap kedua opsi ini dapat mempercepat proses relokasi, memberikan kenyamanan bagi masyarakat, serta meminimalisir dampak bencana serupa di masa depan.
“Proses pendataan relokasi terus dilakukan oleh BNPB, melalui dialog langsung dengan warga. Pemerintah memastikan bahwa upaya pemulihan akan terus dipantau dan disinkronkan agar warga yang terdampak bencana dapat segera memulai kehidupan baru di tempat yang lebih aman,” lanjut Suharyanto.
Tiga Lokasi Relokasi
Saat ini, kata Suharyato, Pemerintah Daerah (Pemda) Flores Timur juga telah mengajuhkan tiga lokasi potensial untuk relokasi warga terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki.
Tiga lokasi itu, yakni Botongkarang/Noboleto. Lokasi ini dapat diakses dengan kendaraan roda dua, dan cocok untuk relokasi warga dari Desa Dulipali (223 KK), Desa Nobo (415 KK), dan Klatanlo (346 KK). Lokasi ini berada di luar Kawasan Rawan Bencana (KRB) Lewotobi, sehingga dinilai aman.
Lokasi kedua adalah Wukoh Lewoloroh. Terletak di perbatasan Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Sikka. Relokasi di kawasan hutan lindung ini akan mencakup Desa Boru (369 KK) dan Hokeng Jaya (457 KK).
Lokasi ini berada di pinggir jalan raya dan memiliki lahan yang biasa digunakan untuk berkebun. Namun, relokasi di lahan ini masih menunggu persetujuan dari Kementerian Kehutanan karena termasuk kawasan hutan.
Lokasi ketiga adalah Kojarobet di Desa Hewa, yang diusulkan untuk relokasi warga Desa Nawokote (399 KK). Ketiga lokasi ini telah dipertimbangkan dengan matang untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan warga yang akan direlokasi.
Suharyanto mengatakan, proses penanganan bencana akan dilakukan secara paralel, termasuk pembangunan hunian tetap (huntap), huntara, dan perbaikan rumah agar semuanya dapat selesai tepat waktu.
Dorotea Du’a Puka, Regina Seli, Nikolaus Tanga dan sebagian besar warga terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki yang mengungsi mandiri maupun posko terpusat sudah rindu rumah. Semoga cepat di rumah meski di rumah hunian sementara.*
Penulis : Wentho Eliando
Editor : Anton Harus