Oleh: Anselmus DW Atasoge
SEJAK Paus Fransiskus tiba di Indonesia, media-media mengabarkan perjumpaan-perjumpaan Beliau dengan warga bangsa Indonesia dari pelbagai kalangan. Salah satu di antaranya adalah perjumpaan dialogis Paus Fransiskus dengan kaum muda ‘Scholas Occurrentes’ di Graha Pemuda, di kompleks Gereja Katedral, Rabu (4/9/2024).
Di hadapan Paus Fransiskus, sejumlah anggota Scholas Occurrentes berkisah tentang situasi keberagaman Indonesia. Mereka juga sharing tentang praksis toleransi dan impian akan harmoni kehidupan dalam realitas keberagaman agama.
Di satu sisi, mereka mengalami pengalaman-pengalaman terluka sebagai akibat dari kekurang-pengertian satu dengan yang lain dalam realitas perbedaan. Di sisi lain, mereka tidak pantang mundur ketika bergumul dengan pengalaman yang melukakan hati dan pikirannya.
Dengan penuh kesabaran, Paus Fransiskus mendengarkan mereka. Dengan spirit kasih ke-bapa-an yang penuh kerahiman dan belas kasih, Paus Fransiskus ‘menjamah hati yang terluka, jiwa yang terluka dan raga yang terluka’ dari ribuan manusia yang diwakili oleh narasi-narasi singkat komunitas Scholas.
Di hadapan mereka, ‘sang gembala’ menghadirkan sukacita injili: berbela rasa, menaruh kasih dan menurunkan pengharapan. Ia pun menghadirkan diri ‘berada di pihak mereka’: menangis bersama mereka dan menebarkan sejuta senyum akan perubahan bagi kebaikan bersama.
Kehadirannya di Indonesia seakan meneguhkan kembali apa yang pernah Bapa Suci tulis bersama Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb di Abu Dhabi, 4 Pebruari 2019, dalam sebuah dokumen yang diberi nama Human Fraternity (Persaudaraan Manusia), sebuah dokumen yang gagasan utamanya mengusung impian tentang perdamaian dunia dan hidup bersama di tengah dunia yang dicoraki dengan pelbagai perbedaan.
Kehadiran dan kedekatannya dengan mereka yang selalu berada ‘di pinggiran jalan sunyi’ bersama ribuan manusia yang nasibnya belum menguntungkan merupakan ungkapan imannya yang terdalam.
Bahwasanya, melalui iman pada Allah, yang telah menciptakan alam semesta, ciptaan, dan seluruh umat manusia (setara karena rahmat-Nya), dirinya dan semua manusia yang beriman dipanggil untuk menyatakan persaudaraan kemanusiaan.
Persaudaraan itu ditunjukkan dengan tindakan nyata untuk melindungi ciptaan dan seluruh alam semesta serta mendukung semua orang, terutama mereka yang paling miskin dan yang paling membutuhkan.
Seruan-seruannya untuk menghormati dan memelihara kehidupan menegaskan ajaran teologis yang diajarkan oleh setiap agama bahwasanya Allah telah melarang untuk membunuh.
Bagi Paus Fransiskus dan juga Ahmad Al-Tayyeb, siapapun yang membunuh seseorang bagaikan membunuh seluruh umat manusia, dan siapapun yang menyelamatkan seseorang bagaikan menyelamatkan seluruh umat manusia.
Lebih dari itu, keduanya menegaskan agama akan meniadakan jati diri keagamaannya bila ia memprovokasi peperangan, sikap kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, kekerasan atau penumpahan darah. Jika tidak maka ajaran-ajaran agama gagal dipahami secara benar.
Bagi saya, jamahan hati dan pikirannya merupakan ekspresi dialogis-integratif dari das sollen (aturan, imaginasi dan visi) akan sebuah kebaikan individual yang merangkul kebaikan komunal dan das sein sebagai wujud implementasi dari segala hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen.
Jamahannya membuka sekat antara apa yang masih tinggal sebagai idealisme agama-agama dengan yang seharusnya menjadi ciri khas dari setiap agama yakni menebarkan kebaikan dan menjauhi keburukan.
Untuk mencapai kebaikan bersama di antara agama-agama yang berbeda, Paus Fransiskus tak henti-hentinya mendorong dihidupkannya budaya dialog sebagai jalan, kerja sama timbal balik sebagai kode etik, saling pengertian sebagai metode dan standar untuk menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai.
Budaya inilah yang pada akhirnya menjadi bingkai bagi usaha untuk menghentikan pertumpahan darah dari orang-orang yang tidak bersalah serta mengakhiri peperangan, konflik, kerusakan lingkungan hidup dan kemerosotan moral.
Dalam perjumpaan lintas agama bersama Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal di Jakarta (05/09/2024), Paus Fransiskus menitipkan pesan yang amat fundamental: Berjalan bersama untuk melihat apa yang menyatukan perbedaan, bertemu dan mengakses sesuatu yang lain yang berbeda agar bisa saling memahami dan mengerti satu dengan yang lain.
Proses-proses ini akan mengantar kaum beriman-beragama keluar dari ideologi supersesionisme yang mengklaim bahwa yang satu lebih sempurna dari yang lain menuju pencarian akan kehidupan yang lebih harmonis, serentak berjalan bersama menuju Allah yang satu dan sama.
Baginya, prasyarat penting dalam keseluruhan proses itu adalah penciptaan lorong-lorong hati dan pikiran yang inklusif. Hati dan pikiran yang inklusif pada saatnya akan menghubungkan satu dengan yang lain yang berbeda.
Untuk menggapai hal itu, prinsip eksistensial yang mesti menjadi pegangan bersama setiap umat beriman-beragama adalah ‘kita semua adalah saudara dalam perjalanan menuju Allah dan perjalanan itu melampaui apa yang membedakan kita’.
Dalam sebuah ensiklik yang diberi judul Fratelli Tutti (Semua Bersaudara) yang ditanda-tangani pada 3 Oktober 2020 di Kota Asisi, Paus Fransiskus menganimasi segenap umat manusia untuk menciptakan persaudaraan dan persahabatan sosial di kalangan umat manusia sebagai satu keluarga umat manusia.
Di dalam satu keluarga kemanusiaan itu setiap manusia merupakan “saudara dan saudari dari semua manusia”. Karena itu, Paus Fransiskus mengajak setiap agama untuk menjunjung tinggi “seni perjumpaan” satu dengan yang lainnya.
Sekali lagi, atas nama persaudaraan manusiawi, dialog yang merupakan sebuah ‘seni perjumpaan tersebut’ dipandang sebagai suatu jalan kebaikan bersama, kerjasama bersama sebagai perintah, dan pemahaman satu sama lain sebagai metode dan ukuran.
Bagi saya, ‘seni perjumpaan’ ini menjadi ‘jalan-jalan kecil’ untuk menjamah setiap mereka yang telah terluka akibat tindakan intoleransi, persekusi dan dibullying akibat perbedaan keyakinan beragama.
Di Indonesia, perjumpaan fisik dengan Paus Fransiskus berakhir pada 6 September 2024. Perjumpaan-perjumpaan yang telah digelar selama Beliau berada di Indonesia menjadi perjumpaan yang bakal menginspirasi perjumpaan-perjumpaan lainnya.
Perjumpaan agama-agama di Indonesia yang dicoraki oleh kenyataan multireligius tidaklah sebatas pada perjumpaan yang menghidupkan sisi kesaling-mengertian satu terhadap yang lain.
Lebih dari itu, setiap perjumpaan harus membuka akses kepada ‘seni untuk jamahan’ mereka yang telah terluka. Ia tidak terbatas pada ruang-ruang akademis-intelektual.
Lebih dari itu, ia mesti mengkonsolidasi kekuatan perjumpaannya dalam ‘spirit inkarnatif’: merangkul mereka yang terluka dan berjalan bersama Allah dan sesama yang lain dan yang berbeda dalam kasih persaudaraan untuk berpartisipasi dalam proses penyembuhan bagi mereka yang sedang terluka. *
Penulis, adalah Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende, Alumni Interfaith Study UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor : Wentho Eliando