BAJAWA, FLORESPOS.net-Festival Budaya Ngada Tahun 2024 yang digelar di Desa Lengkosambi Utara, Kecamatan Riung Barat oleh Pemda Kabupaten Ngada, Provinsi NTT, kian menarik disimak.
Pada pelaksanaan kali ini, Panitia Pelaksana menyajikan satu mata acara, yakni rembuk budaya. Acara yang berlangsung di Pantai Watulajar pada Selasa (6/8/2024), itu mengangkat tema Revitalisasi Ruma Ca’o Sapolikang.
Pemateri, yakni Haris Budiarto dari Balai Pelestarian Wilayah XVI NTT, Nao Remon selaku Peneliti Budaya Riung yang juga Pemilik Yayasan Puge Figo dan Tim Pengetahuan, Akademisi serta tokoh masyarakat Riung Barat Dr. Yohanes Vianey Sayangan. Moderator mantan Kepala Dinas Pariwisata Ngada Methodius Reo Maghi.
Haris Budiarto dalam materinya tentang Pelestarian Objek Pemajuan Kebudayaan, Haris menekankan tentang pentingnya melestarikan objek kebudayaan.
Menurutnya, budaya dalam konteks peninggalan seperti benda-benda budaya masih digunakan dan masih banyak tersebar di wilayah NTT. Peninggalan budaya itu unik dan sebagian besar masih digunakan oleh masing-masing komunitas budaya.
Dicontohkan, ada meja batu yang masih dipakai untuk upacara adat yang mungkin di daerah lain di luar NTT banyak yang kehilangan maknanya.
Nilai-nilai budaya seperti ini, menurutnya harus tetap dipertahankan dari generasi ke generasi sehingga jangan sampai masyarakat yang ada di sekitar cagar budaya tidak mengetahui budaya dan tradisi yang ada.
“Hal yang penting adalah semua tinggalan budaya harus pula didokumentasikan. Antara perlindungan terhadap cagar budaya dan perlindungan terhadap nilai-nilai tradisi harus berjalan seimbang sehingga ke depan upaya-upaya pelestarian kebudayaan akan dapat berjalan dengan baik,” katanya.
Haris Budiarto menyarankan, ke depan harus ada peraturan daerah yang mengatur tentang urusan kebudayaan yang lebih spesifik dengan mendengarkan masukan dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan stakeholder lainnya.
Dr. Yohanes Vianey Sayangan dalam materinya mengatakan belum ada orang dalam yang menulis tentang adat dan budaya orang Riung.
Padahal, di Kabupaten Ngada terdiri dari tiga etnis, yakni Bajawa atau Ngadhu Baga, Etnis Soa dan Etnis Riung sendiri tentunya mempunyai kekhasan yang berbeda.
Di dalam etnis Riung sendiri juga ada beberapa kultur yang berbeda satu sama lainnya seperti yang di bagian barat maupun yang di pantai. Orang Riung tidak mempunyai satu bahasa sehingga dalam kesehariannya menggunakan bahasa Indonesia.
Generasi saat ini terutama orang Riung banyak yang bertanya tentang wujud rumah adat Riung yang memang saat ini tidak diketahui atau dikenal oleh masyarakat. Budaya Riung yang juga masyarakat adatnya sangat heterogen termasuk agama atau multikultur rumah adatnya juga berbeda-beda.
“Keunikan Etnis Riung yang multikultur adalah kekuatan karena memiliki keragaman nilai dan makna filosofi,” kata Dr. Yohanes Vianey.
Untuk itu, katanya, sudah merupakan tanggung jawab orang Riung untuk membangun rumah adat orang Riung dengan referensi atau data yang jelas sehingga menjadi simbol budaya orang Riung dan warisan bagi anak cucu nanti.
Sementara itu mantan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Ngada yang kini Plt. Asisten II Setda Ngada Methodius Reo Maghi mengatakan rembug budaya merupakan suatu yang sangat bermakna dalam menyatukan pendapat terkait budaya itu sendiri.
Kegiatan Rembug Budaya tersebut diikuti oleh sejumlah komponen utama seperti para pengawas sekolah, para kepala sekolah se Kecamatan Riung dan Riung Barat, Kepala Desa dan tokoh masyarakat yang desanya menjadi Residensi Kemah Budaya Kaum Muda 2024, Komunitas Suku Mulu dan Tadho, peserta lomba, lembaga pemangku adat serta undangan lainnya. *
Penulis : Wim de Rozari
Editor : Wentho Eliando