Oleh: Laurensius Alvrino Landi
PALUE, merupakan pulau kecil yang terletak di tengah Laut Flores, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Palue termasuk wilayah administrative Kabupaten Sikka.
Pulau ini merupakan rumah bagi Suku Palue yang memiliki kebudayaan dan tradisi yang kaya dan unik serta gunung berapi aktif Rokatenda.
Salah satu tradisi yang masih dilestarikan oleh Suku Palue adalah ritual adat yang dilakukan di tempat yang diberi nama Tubu.
Tubu adalah tempat berlangsungnya berbagai upacara kepada “Era Wula Watu Tana” penguasa, pencipta, penyembuh alam semesta dan para nenek moyang atau leluhur.
Tubu dalam kepercayaan masyarakat adat Palue diyakini sebagai pusat dari segala macam ritual adat, semua ritual adat harus dilakukan di atas Tubu sebagai rasa syukur dan terima kasih terhadap Era Wula Watu Tana dan memohon berkat serta kemurahan dari Era Wula Watu Tana.
Ada 9 Tubu yang tersebar di 4 desa dari 8 desa yang ada di Pulau Palue. Desa tersebut, adalah desa Nitunglea, Rokirole, Ladolaka, dan Tuanggeo.
Setiap Tubu memiliki kepala adat yang disebut Laki Mosa, yang bertugas melakukan ritual adat di Tubu. Laki Mosa hanya bisa melakukan ritual adat di Tubu tempat ia berkuasa, dan tidak bisa campur tangan dalam ritual adat Tubu dari desa lain.
Tubu terbentuk dari lingkaran batu yang mengelilingi sebuah meja persembahan atau altar yang disebut Mashe.
Di atas mashe, berbagai macam sesaji dan korban hewan seperti babi dan kerbau diletakkan sebagai simbol penghormatan dan permohonan kepada para leluhur dan Era Wula Watu Tana.
Jika diartikan secara lurus, maka Era berarti matahari, Wula berarti bulan, Watu berarti batu, dan Tana berarti tanah.
“Bagi kami, Tubu adalah tubuh atau badan, sebagai tempat yang sakral dan dihormati. Menghormati Tubu sama dengan menghormati tubuh kita sendiri sebagai sesuatu yang suci dan sakral, tempat tinggalnya para roh yang kita percayai,” kata Arden Marhaenta, salah satu tokoh adat Palue, Minggu, 17 Desember 2023.
Arden menjelaskan, ada beberapa ritual adat yang dilakukan di atas Tubu, antara lain Po’o Tubu, Mea Maba, Togo, dan Pati Karapau.
Po’o Tubu adalah ritual yang dilaksanakan dengan maksud untuk memohon berkat dan kemurahan dari Era Wula Watu Tana untuk berbagai kepentingan, antara lain: membuka kebun baru, hasil panen, kesembuhan dari penyakit, terkabulnya sebuah perjuangan, selesai mengerjakan rumah.
Ritual ini dilaksanakan dengan cara menyembelih seekor babi dan dilakukan waktu sore hari oleh Laki Mosa, yaitu kepala adat yang bertugas melakukan ritual adat di Tubu.
Setelah itu, Laki Mosa mengumumkan untuk “Phije” yang artinya tidak boleh beraktivitas selama tiga hari.
Mea Maba adalah ritual yang dilakukan untuk mengucapkan terima kasih kepada Era Wula Watu Tana atas segala nikmat dan karunia yang diberikan.
Ritual ini biasanya dilakukan setelah panen atau mendapatkan hasil yang baik dari usaha.
Togo adalah tarian adat yang dilakukan sebelum dan sesudah ritual adat yang cukup besar, seperti Pati Karapau. Tarian ini melibatkan seluruh anggota masyarakat yang berpakaian adat dan membawa alat musik tradisional.
Pati Karapau adalah ritual yang paling besar dan sakral, yaitu menyembelih seekor kerbau sebagai korban tertinggi kepada Era Wula Watu Tana.
Ritual ini dilakukan untuk memperingati peristiwa penting dalam sejarah suku Palue, seperti perang, bencana, atau migrasi.
“Ritual adat di Tubu sangat berkaitan dengan kepercayaan kami kepada Era Wula Watu Tana dan leluhur kami. Kami percaya bahwa dengan melakukan ritual adat di Tubu, kami akan mendapatkan perlindungan, keselamatan, kesejahteraan, dan keharmonisan dari Era Wula Watu Tana dan leluhur kami,” ujar Okto Wera, pembicara adat Desa Tuanggeo, Kamis, 14 Desember 2023.
Okto menambahkan, Tubu juga menjadi tempat yang mempererat hubungan antara manusia dan Allah, manusia dan alam, serta manusia dan sesama.
Tubu menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa yang dialami oleh suku Palue, baik suka maupun duka.
Tubu juga menjadi simbol dari identitas dan kebanggaan suku Palue sebagai salah satu suku yang masih mempertahankan tradisi leluhur.
Ketika didatangi, Tubu di beberapa desa ditumbuhi oleh rumput liar. Hal ini karena Tubu tidak bisa dibersihkan secara sembarangan.
Tubu hanya akan dibersihkan jika ada ritual adat yang akan dilakukan, seperti ritual adat Neo Rate, Pati Karapau, atau Pua Karapau. Hal ini seperti Tubu dari Desa Nitunglea dan Desa Tuanggeo.
Sementara Desa Ladolaka dan Desa Rokirole Dusun Cawalo Tubu dalam kondisi bersih karena dua desa tersebut baru saja melaksanakan ritual Pati Karapau dan Pua Karapau.
Di tengah perkembangan zaman dan modernisasi, Suku Palue tetap berusaha melestarikan tradisi ritual adat di Tubu. Mereka percaya bahwa Tubu adalah warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan.
Tubu bukan sekadar tempat persembahan, melainkan tempat yang menyimpan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal suku Palue. ***
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Unipa Maumere