RUTENG, FLORESPOS.net-Tahun ini, Keuskupan Ruteng, Manggarai, NTT telah me menyelenggarakan dua festival, yakni Golo Koe di Mabar, Colol di Matim, dan yang sedang berjalan Golo Curu di Manggarai.
Pelaksanaan festival tidak luput dari kritikan dari publik, terutama umat karena harus berkontribusi dalam hal dana lewat paroki dan dampaknya untuk kehidupan ekonomi umat.
Kesannya selama ini, habis festival selesai semua. Tidak terlihat dampak konkret dari apa yang dilaksanakan sehingga keadaan umat tetap tidak berubah.
Soal-soal riil dari umat itu diangkat para wartawan dalam Konpers dari Panitia Festival Golo Curu di Aula Puspas Keuskupan Ruteng, Senin (1/10/2023).
Ketika itu, Ketua Umum Festival, Sekda Fansy Jahang mengatakan, pihaknya sebagai panitia tidak anti kritik. Silakan menyampaikan demi kebaikan bersama.
“Banyak kritik itu juga bagus agar kita tahu apa yang dilakukan sudah sesuai atau belum,” katanya.
Kritikan itu bagus sebagai masukkan sehingga menjadi bahan evaluasi nantinya. Evaluasi berguna untuk perbaikan ke depannya.
Sedangkan Stering Commite, Rm. Marthin Chen mengatakan, dampak festival itu macam-macam baik jangka pendek maupun jangka panjang. Bagi yang terlibat, terutama pelaku usaha kecil, dampaknya ada yang langsung dirasakan.
“Dampaknya produknya laku. Tetapi, yang tidak berpartisipasi langsung, memang tidak merasakan,” katanya.
Dampak konkret bagi pelaku usaha kecil, demikian Rm. Chen, cukup dirasakan baik ketika iven diadakan Labuan Bajo dan Colol. Ada hasil walaupun belum sesuai dengan harapan.
Karena itu, dalam festival kali ini, kesempatan lebih banyak diberikan ke pelaku usaha kecil dari paroki-paroki. Silakan memanfaatkannya.
Data sementara sudah 100-an pelaku usaha kecil dari paroki-paroki dan lain-lain yang mendaftarkan untuk mengikuti pameran produk usaha nantinya.
Romo Chen mengatakan, selama ini gereja lebih banyak bergerak dalam bidang edukasi dan pemberdayaan. Karena itu, hasilnya tidak langsung didapat seperti diinginkan.
Lalu, ada juga kegiatan langsung untuk pemberdayaan di bidang usaha pertanian organik, pelatihan-pelatihan usaha kecil, pendampingan usaha ternak, dan aksi bantuan karitatif yang jumlah memang masih terbatas.
Saat itu Romo Chen juga merespon soal kontribusi dari paroki atas pelaksanaan festival. Sesuai dengan kesepakatannya, paroki dalam kota Rp 7,5 juta dan luar kota Rp 1,5 juta.
“Saya harus sampaikan terbuka soal ini. Besaran itu merupakan hasil kesepakatan,” katanya.
Khusus untuk biaya festival, lanjut Rm. Chen, angkanya memang besar. Untuk Festival Golo Koe, Labuan Bajo, biayanya sekitar setengah miliar. Biayanya tidak begitu besar karena banyak sekali efisiensi.
ntuk Festival Golo Curu, seperti apa riil anggaran yang dihabiskan, baru bisa diketahui setelah akhir kegiatan. *
Penulis: Christo Lawudin/Editor: Anton Harus











