ENDE, FLORESPOS.net-Gubuk kecil di pojok Jalan Ponegoro Atas, Kelurahan Onekore, Ende Tengah, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi langganan dikunjungi orang.
Gubuk sederhana itu tampak mulai rewot. Tapi kerap kali didatangi anak sekolah, pegawai negeri, bahkan ada mobil milik bos-bos yang parkir di depannya.
Ternyata, itu bukanlah gubuk biasa. Gubuk berukuran 2×2 meter, adalah salah satu tempat milik penjahit terbaik di Kota Ende. Gubuk itu ramai didatangi warga yang mengantar pakaian untuk dijahit.
Pada Sabtu, 6 Mei 2023 siang, Florespos.net mencoba mampir ke gubuk tua itu–sambil antar celana untuk dijahit.
Di tengah terik mentari yang tidak bersahabat di Kota Ende, seorang pria tua tetap berada di gubuk melakukan aktivitas menjahit. Dia adalah Opa Robertus, kelahiran Tenda, Wolojita, Kabupaten Ende 1959.
Lima menit di gubuk itu, Florespos.net meminta waktu Opa Obet bercerita tentang mulai menekuni pekerjaan itu dan apa yang mendorongnya.
Opa Obet tersenyum dan bertanya balik. “Kamu siapa? Apakah kamu wartawan?,” tanya dia.
Dengan senyum, Florespos.net pun menjawab pertanyaan Opa Obet. Semula Opa Obet malu- malu tapi akhirnya mau juga ngobrol dan menjawab pertanyaan.
Tahun 1978, Opa Obet lulus SMP di Kampung Wolojita. Setelah lulus, ia memilih datang ke Kota Ende. Awal datang ke Kota Ende tidak langsung bekerja sebagai penjahit. Opa Obet bekerja sebagai penjaga toko.
Saat bekerja sebagai penjaga toko, rupanya Opa Obet tidak puas. Dia mulai mencuri waktu belajar menjahit dari orang Padang. Opa Obet belajar sambil bekerja di toko.
Saat itu Opa Obet belajar dan harus membayar Rp 150.000 untuk belajar menjahit selama empat bulan pada penjahit dari Padang.
“Saya tidak kursus. Saya ikut orang Padang tapi harus bayar. Anggap saja saya belajar di situ,” katanya.
Setelah empat bulan belajar, dia mulai membeli mesin jahit dari gajinya sebagai penjaga toko. Opa Obet membeli mesin seharga Rp 45.000 kala itu. Setelah itu, dia mulai belajar dan menerima orderan sambil bekerja di toko.
“Saya mulai jahit tapi malam hari setelah saya pulang kerja dari toko,” katanya.
Hingga di satu waktu, kenang Opa Obet pada tahun 1989 lalu, ia mendapatkan petunjuk. Petunjuk itu datang melalui mimpinya bahwa ia menerima orderan besar jahitan seragam.
Petunjuk mimpi terus mengganggunya sehingga Opa Obet memutuskan berhenti bekerja sebagai penjaga toko dan menekuni pekerjaan menjahit.
“Saat itu ada petunjuk melalui mimpi. Saya menerima orderan besar dan banyak yang datang. Saya langsung putuskan berhenti di toko dan mulai bekerja sebagai penjahit di rumah,” kenang Opa Obeth.
Suami dari mama Dafrosa ini menceritakan, awalnya memang berat karena belum diketahui orang dan harus bersaing dengan penjahit dari Padang yang sudah punya nama.
Bapak empat anak ini tidak patah semangat dan terus bertahan. Ia yakin profesi ini adalah jalannya karena melalui petunjuk mimpi.
“Saya yakin bisa karena itu datang dari petunjuk mimpi. Saya percaya itu,” kata Opa Obet.
Tahun demi tahun berlalu, ada suka dan duka yang dilalui. Opa Obet belajar dari pengalaman dan komplain pelanggannya.
Dari rumah Opa Obet memindahkan tempat usahanya ke Jalan Ponegoro, Kota Ende belasan tahun lalu. Di tempat ini, Opa Obet menjahit dan menyulam kehidupan keluarganya.
Dari usaha ini, Opa Obet dan mama Dafrosa sanggup menyekolahkan empat anaknya hingga bangku kuliah. Sekarang tiga orang anaknya sudah sarjana dan si bungsu sudah semester akhir.
Meski di usia 64 tahun, Opa Obet tetap menekuni pekerjaan ini karena petunjuk mimpi itu menjadi motivasi yang sangat kuat baginya.
“Saya tetap kerja karena masih tanggung jawab si bungsu dan petunjuk mimpi itu masih sangat kuat,” katanya.
Selama menekuni pekerjaan ini, Opa Obet mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan berupa mesin jahit, kain atau pun benang melalui program bantuan.
“Pemerintah lebih suka memberikan bantuan pada orang yang salah sehingga bantuan itu jadi tidak bermanfaat atau mubazir,” tutup Opa Obet.*
Penulis: Willy Aran / Editor: Wentho Eliando