Peti Mati dari Tanah Rantau: Cermin Luka Sosial dan Spiritualitas yang Terluka

- Jurnalis

Minggu, 6 Juli 2025 - 11:40 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Anselmus Dore Woho

DALAM sambutan penutup Pertemuan Pastoral XII Gereja Regio Nusra, yang berlangsung di Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka pada 4 Juli 2025 malam, Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr menggugah hati para hadirin dengan kabar yang mencubit nurani: di tengah diskusi hangat tentang migrasi dan perantauan, tiba-tiba datang berita bahwa tiga peti mati Pekerja Migran asal NTT sedang diurus kepulangannya ke kampung halaman, masing-masing satu dari Flores Timur, satu dari Timor, dan satu dari Ende.

Seolah semesta ingin menegaskan bahwa pembicaraan itu bukan sekadar wacana, tetapi soal nyawa dan luka yang nyata, yang kini sedang menunggu untuk dipeluk dalam duka.

Setiap kali sebuah peti mati diturunkan dari pesawat atau kapal yang datang dari tanah rantau ke Nusa Tenggara Timur, tanah ini kembali terdiam. Tangis keluarga pecah dalam keheningan; duka menjadi pengingat atas mimpi yang tak pernah sampai.

Mereka bukan sekadar angka dalam laporan tahunan, melainkan anak-anak pejuang hidup yang pergi membawa harapan dan keyakinan, namun kembali dalam peti kayu yang dingin-beku oleh sistem yang gagal melindungi mereka.

Di hadapan duka ini, kita tak hanya ditantang untuk berduka, tapi untuk bertanya dengan nurani yang jujur: apa arti iman jika tidak hadir dalam penderitaan umat?

Sepanjang tahun 2024, lebih dari 124 pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur dipulangkan dalam keadaan tak bernyawa. Sebagian besar dari mereka berangkat secara non-prosedural—ditelan arus besar ketimpangan dan ketiadaan peluang di tanah sendiri.

Banyak yang menjadi korban perdagangan manusia, dieksploitasi, bahkan mengalami kekerasan berat. Ini bukan sekadar krisis migrasi, tapi cermin keretakan moral kita sebagai bangsa: mengapa kita membiarkan anak-anak kita pergi tanpa perlindungan, dan hanya menyambut mereka dalam peti kayu? Tragedi ini menohok rasa kemanusiaan, menggugah keimanan, dan memaksa kita bertanya: sejauh mana agama dan negara hadir ketika hidup mereka masih bernyawa?

Baca Juga :  Paket Petahana Nagekeo, Don-Marianus Diusung Delapan Partai Politik

Émile Durkheim, dalam karya monumentalnya The Elementary Forms of Religious Life, menyebut agama sebagai perekat sosial. Ia membentuk solidaritas kolektif dan memberi makna terhadap penderitaan. mengingatkan bahwa kekuatan agama terletak bukan hanya pada ritus atau dogma, melainkan pada kemampuannya membangun rasa kebersamaan dan tujuan bersama.

Ketika masyarakat membiarkan ketimpangan merajalela hingga anak-anaknya harus pergi tanpa perlindungan dan kembali dalam peti mati, agama pun kehilangan tempatnya sebagai benteng harapan.

Peti-peti itu bukan hanya hasil dari migrasi yang gagal, tetapi refleksi dari retaknya nilai-nilai yang dulunya suci dan tak tergugat.

Dalam konteks ini, agama perlu melampaui altar dan liturgi—ia harus kembali menjadi kekuatan pembebas, suara bagi yang tertindas, dan tangan yang mengangkat mereka yang terpinggirkan. Jika tidak, maka setiap peti mati yang tiba akan terus menjadi dakwaan bisu atas iman yang tak menyapa dunia nyata.

Max Weber menegaskan bahwa agama memiliki kekuatan untuk memberi makna atas penderitaan sekaligus membentuk etika kerja yang bermartabat.

Namun dalam realitas migrasi asal Nusa Tenggara Timur, makna itu kerap terdistorsi: semangat merantau sering dimaknai sebagai “panggilan ilahi”, walau dijalani tanpa dokumen legal, tanpa perlindungan hukum, dan tanpa jaminan keselamatan.

Dalam bingkai ini, agama yang semestinya menjadi sumber pembebasan justru berisiko menjadi alat legitimasi penderitaan, membius kesadaran kolektif lewat narasi spiritual yang tampak mulia tapi menyesatkan. Alih-alih membangkitkan daya kritis atas ketidakadilan, agama bisa saja menjadi cermin diam dari sistem sosial yang terus melukai.

Dalam Pertemuan Pastoral Regio Nusra XII yang berlangsung di Larantuka pada 1–5 Juli 2025, Gereja Katolik tampil dengan suara profetik yang tegas.

Baca Juga :  Kunjungan Wisatawan ke Taman Nasional Kelimutu Turun 30 Persen

Para uskup bersama peserta Perpas dengan lantang menggugat sistem sosial yang melahirkan keputusasaan kolektif—di mana anak-anak pergi tanpa perlindungan dan pulang dalam peti mati.

Mereka menyoroti dampak mendalam dari migrasi ilegal: keluarga yang tercerai berai, anak-anak yang tumbuh tanpa pelukan orang tua, serta komunitas yang kian rapuh secara sosial dan spiritual.

Dalam semangat transformasi pastoral yang berpihak kepada kaum lemah, Gereja menyerukan bukan hanya belas kasih, tetapi perubahan struktural menuju sistem migrasi yang aman, bermartabat, dan sungguh-sungguh melindungi martabat setiap insan.

Migrasi bukanlah dosa; ia adalah bagian dari dinamika hidup manusia untuk bertahan, bermimpi, dan membangun masa depan. Namun, membiarkan umat pergi tanpa perlindungan lalu menyambut mereka kembali dalam peti mati adalah kegagalan kolektif—kegagalan negara, Gereja, dan masyarakat.

Maka setiap peti yang tiba bukan sekadar membawa jenazah, melainkan membawa cermin tajam yang memantulkan kepincangan struktur sosial dan spiritualitas yang telah kehilangan kepekaan profetiknya.

Sudah saatnya kita berhenti hanya menangis di tepian duka dan mulai menata ulang sistem yang melukai. Kita tak boleh lagi hanya mengantar mereka pulang; kita harus mengubah alasan mengapa mereka tak pernah kembali hidup-hidup.

Iman sejati tak cukup dibuktikan dengan lilin yang menyala di altar atau nyanyian pujian yang menggema di gereja. Ia lahir dari keberanian berdiri di sisi yang menderita, dari solidaritas nyata yang menembus batas ritus.

Maka mari kita tutup peti terakhir bukan hanya dengan doa yang lirih, melainkan dengan kesadaran yang menyala dan tindakan kolektif yang konkret.

Supaya tak ada lagi anak-anak bangsa yang pulang dalam diam, tanpa pelukan, tanpa keadilan agar tanah orang tak lagi menjadi altar perpisahan bagi harapan yang disalibkan.*

Penulis: Dosen Stipar Ende

Berita Terkait

Gol Tunggal Ronald Sambi Pastikan Nangapanda ke Delapan Besar
Kebakaran Hebat di Nagekeo, Dua Tempat Usaha Hangus
Abu Snan, Sekolah Kita, dan Ikhtiar Menyalakan Nurani
Pemkab Ende Akui Uniflor Berperan Aktif Bangun Daerah
Dua Tahun Layani Pasien Covid-19 Cuci Darah, Nakes Unit Hemodialisis Tak Dapat Insentif
Korupsi Dana Desa Tana Duen, Kades dan Bendahara Dipidana Penjara
Tahan Imbang Ensel, Ndona Pastikan Langkah ke Delapan Besar Piala Bupati Ende
Kejari Sikka Eksekusi Putusan Dua Terpidana Korupsi Dana Desa
Berita ini 221 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 19 Juli 2025 - 22:59 WITA

Gol Tunggal Ronald Sambi Pastikan Nangapanda ke Delapan Besar

Sabtu, 19 Juli 2025 - 20:05 WITA

Kebakaran Hebat di Nagekeo, Dua Tempat Usaha Hangus

Sabtu, 19 Juli 2025 - 18:14 WITA

Abu Snan, Sekolah Kita, dan Ikhtiar Menyalakan Nurani

Sabtu, 19 Juli 2025 - 14:03 WITA

Pemkab Ende Akui Uniflor Berperan Aktif Bangun Daerah

Sabtu, 19 Juli 2025 - 10:02 WITA

Dua Tahun Layani Pasien Covid-19 Cuci Darah, Nakes Unit Hemodialisis Tak Dapat Insentif

Berita Terbaru

Nusa Bunga

Gol Tunggal Ronald Sambi Pastikan Nangapanda ke Delapan Besar

Sabtu, 19 Jul 2025 - 22:59 WITA

Nusa Bunga

Kebakaran Hebat di Nagekeo, Dua Tempat Usaha Hangus

Sabtu, 19 Jul 2025 - 20:05 WITA

Anselmus DW Atasoge

Opini

Abu Snan, Sekolah Kita, dan Ikhtiar Menyalakan Nurani

Sabtu, 19 Jul 2025 - 18:14 WITA

Nusa Bunga

Pemkab Ende Akui Uniflor Berperan Aktif Bangun Daerah

Sabtu, 19 Jul 2025 - 14:03 WITA