Oleh: Walburgus Abulat
RABU 27 November 2024. Tak sekadar momen waktu yang berbentuk siklis atau khronos-jalinan satu sesudah yang lain.
Momen ini dalam sejarah Indonesia tercatat sebagai momen pesta demokrasi akbar yang terjadi secara serentak pada 508 kabupaten/kota di 37 Provinsi di Indonesia.
Suatu pesta demokrasi akbar untuk pemilihan serentak 508 bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota, serta pemilihan serentak 37 calon gubernur dan calon wakil gubernur dari Sabang-Barat Indonesia hingga Merauke di ujung Timur Indonesia.
Ya, pesta akbar ini selain merawat demokrasi_juga momen ini sebagai ajang mematangkan demokrasi kita, termasuk berbesar hati untuk menerima apa pun hasil pilkada sebagai wujud konkret esensi demokrasi kita yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sekilas tentang Demokrasi
Demokrasi secara etimologis berasal dari Bahasa Yunani Kuno yakni dari kata Demos yang berarti rakyat dan kata Kratos yang berarti kekuasaan.
Jadi, demokrasi sendiri merupakan sistem pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, di mana setiap orang dapat mengambil bagian perihal keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya dalam bernegara. Demokrasi dimaknai sebagai kekuasaan di tangan rakyat.
Model demokrasi seperti ini memberi keleluasan kepada rakyat untuk terlibat langsung dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keberlangsungan sebuah negara atau pemerintahan. Jadi, demokrasi berarti pemerintah/kekuasaan dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Menang Terhomat, Kalah Bermartabat Pilkada akbar pemilihan bupati/wali kota dan wakili bupati/wakil bupati dan pemilihan gubernur dan wakil guberur secara serentak telah dilaksanakan pada 27 November 2024.
Kita juga telah mengetahui gambaran awal hasil pilkada di beberapa provinsi dan kabupaten di Indonesia melalui perhitungan cepat atau quick count melalui beberapa lembaga survei.
Meskipun semua kita menunggu hasil perhitungan resmi KPU untuk memastikan siapa yang menjadi pemenang pilkada baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota, namun hasil survei yang dirilis sejumlah media televisi dan jaringan yang berotoritas itu setidaknya menjadi informasi awal bahwa ajang demokrasi apa pun, khususnya pilkada harus dihadapkan pada realitas bahwa ada pihak yang menang, dan ada pula pihak yang kalah.
Realitas demokrasi seperti ini mesti tertanam dalam diri para kontestan, para partai politik yang mengusung kandidat yang maju dalam pilkada, para tim sukses, para relawan, dan seharusnya juga menjadi pemahaman elemen warga yang berpartisipasi aktif dalam hajatan demokrasi ini bahwa dalam ajang demokrasi harus menerima kenyataan siap menang dan siap kalah.
Kalau semua elemen memahami esensi demokrasi seperti ini, maka apa pun hasilnya harus diterima dengan lapang dada. Dalam konteks ini, semua elemen yang berpartisipasi aktif dalam pilkada harus merawat demokrasi secara benar di mana bagi yang menang kita rayakan kemenangan secara terhormat, sementara bagi yang kalah kita menerima kekalahan itu dalam bingkai demokrasi yang bermartabat.
Singkatnya, mari kita merawat demokrasi dengan cara kita menghormati siapa yang menang, dan siap menerima kekalahan secara bermartabat. Mari kita merawat demokrasi: menang kalah harus bermartabat.
Selamat sukses bagi yang memang dan harus mengemban amanat rakyat untuk mewujudkan dan mengimplementasikan demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.*
Penulis adalah Jurnalis, Penulis Buku, dan Pegiat Demokrasi
Editor : Anton Harus