LEWOLEBA, FLORESPOS.net-Melkior Kewasa, pria berusia 41 itu sedang asyik menarik jala yang ditebarnya. Dia—sekitar 30 menit menebar jala itu ke dalam areal pantai atau laut yang baru saja di buka larangan oleh para tetuah adat setempat yang saat itu sedang surut jauh.
Tak hanya mata, tangan dan kakinya bergerak lincah. Satu demi satu, Melkior Kewasa melepas ikan yang terperangkap di jala.
Dia lalu memasukan ikan hasil tangkapan itu ke dalam sebuah wadah yang berada tidak jauh dari tempatnya menarik jala.
“Saya baru saja buang jala di pantai ini setelah tetua adat buat ritual. Selain ikan, saya juga cari rumput laut,” ungkap Melkior Kewasa, warga Desa Watodiri, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT, saat Florespos.net menghampirinya, Sabtu 19 Oktober 2024 pagi.
Melkior Kewasa tidak sendiri. Di pantai larangan itu, ada Thomas Manau (30), dan Simon Suban Matarau (42), juga ratusan warga lainnya datang dari berbagai tempat di Lembata.
“Saya tinggal di batas Kota Lewoleba. Setiap tahun, saya pasti ke sini untuk tangkap ikan saat pantai larangan ini dibuka oleh para tetua adat,” kata Thomas Manau (30), pemuda asli Kupang ini sambil menenteng ikan hasil tangkapannya.
Tak jauh dari Thomas Manau, ada juga sejumlah perempuan setengah tua tergabung dalam Kelompok Penenun Lamaholot (Lembata, Flores Timur dan Alor) yang tengah mengikuti iven Festival Lamaholot 2024, komunitas pecinta lingkungan, dan puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang tergabung dalam Program Muda Berdaya untuk Kedaulatan Pangan (MBKP).
“Saya baru pertama kali saksikan dan ikut langsung menangkap ikan dan mengambil rumput laut di pantai ini. Katanya, hanya satu kali dalam satu tahun. Banyak sekali ikan dan rumput laut di pantai ini. Saya senang sekali bisa ikut tradisi ini,” tutur Maria L. Kabelen (62), anggota Kelompok Tenun Pati Seda asal Lewokluok, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur peserta Festival Lamaholot Tahun 2024.
Mereka semua ramai-ramai turun menangkap ikan, dan mengais rumput laut setelah para tetua adat Desa Watodiri menggelar ritual membuka pantai larangan pada pagi subuh, Sabtu, 19 Okober 2024. Iya, menurut tradisi yang berlaku di desa itu, pantai larangan ini hanya dibuka sekali dalam sehari, dan sekali dalam setahun.
“Hanya sekali dalam sehari dan sekali dalam setahun. Harus manfaatkan betul, karena setelah itu pantai ini ditutup lagi. Selama ditutup dilarang tangkap ikan dan rumput, serta biota laut lainnya, apalagi merusak di pantai larangan ini,” kata Simon Suban Matarau, seorang warga yang juga Petugas Linmas Desa Watodiri.
“Tugas saya memantau dan mengawasi warga yang menangkap ikan dan mengambil rumput laut. Ada yang boleh diambil dan ada yang tidak boleh meskipun pantai larangan dibuka. Tangkap ikan dan rumput laut hanya di areal dalam jala yang sudah ditebar tetua adat. Tidak boleh merusak karang, siput payung, kerang, dan lainnya. Pantai Larangan ini dibuka dan ditutup setelah laut pasang,” kata Simon Matarau lagi.
Dalam bahasa daerah setempat aktivitas menangkap ikan dan mengais rumput laut di pantai larangan ini disebut Tradisi Muro Badu (Membuka Pantai Larangan).
“Muro” berarti larangan adat baik di darat maupun di laut. Sementara “Badu” sendiri berarti laut/pantai dengan luasan tertentu dan larangan tertentu serta dibuka pada waktu tertentu.
“Tradisi Muro Badu merupakan warisan leluhur. Semua tempat di Lembata pasti ada Muro atau Larangan. Larangan ini, baik di darat maupun di laut,” kata Kornelia Penate, Ketua YBS Baru saat menggambar sedikit tentang Tradisi Muro Badu.
“Kami di Desa Watodiri, tradisi ini disebut Muro Badu. Tradisi ini sudah lama dan mulai dibuat secara baik dengan aturan dan sanksi-sanksi tegas sejak 39 tahun lalu,” katanya.
YBS (Yayasan Bina Sejahtera) Baru selama ini mendampingi dan mengelola Tradisi Muro Badu di Desa Watodiri, Kecamatan Ile Ape.
“Luas pantai/laut larangan di Desa Watodiri 10 hektar. Muro Badu menjadi larangan dengan sanksi adat. Kami menjaga ini untuk konservasi,” kata Kornelia Penate.
Kornelia Penate mengatakan, belakangan ini atau sejak dibuat Peraturan Desa (Perdes), Tradisi Muro Badu digelar beberapa kali, yakni sekali dalam setahun setiap enam bulan dibuka khusus untuk warga Desa Watodiri, enam bulan sekali untuk masyarakat umum.
“Dalam satu tahun, Muro Badu kami buka dua kali, enam bulan pertama untuk warga desa, dan enam bulan berikut untuk umum. Lalu tiap tiga bulan, kami buka untuk kaum perempuan desa dan buka khusus Hari Ulang Tahun Kemerdekaan dan Tahun Baru. Khusus HUT Kemerdekaan dan Tahun Baru, warga turun menangkap ikan dan hasilnya untuk makan bersama,” jelas Kornelia Penate.
Benar kata Simon Matarau, Muro Badu ini dibuka dan ditutup kembali setelah air laut pasang. Saat air laut perlahan pasang, kami semua pun bergegas keluar dari kawasan Muro Badu (Pantai Larangan) sambil menenteng ikan hasil tangkapan, rumput laut dan cerita tentang tradisi leluhur menjaga, merawat, dan melestarikan alam laut demi masa depan dan keberlanjutan generasi. *
Penulis : Wentho Eliando
Editor : Wall Abulat