Oleh: Pater Kristo Suhardi, SVD
KETIKA mendengar nama Pater Paulus Budi Kleden, SVD ditunjuk Bapa Suci Paus Fransiskus sebagai Uskup Agung Ende, hal pertama yang terlintas di benak saya adalah ungkapan ini, ‘sungguh layak dan sepantasnya.’
Sejak pengumuman itu hingga pentahbisannya hari ini, di beranda media sosial, orang beramai-ramai berbagi pengalaman personal dengannya; pengalaman yang selalu diakhiri dengan kesan istimewa tentang Mgr. Budi sebagai seorang imam SVD yang bersahaja, rendah hati, sederhana, berkomitmen, dan sangat cerdas.
Ia pakar dalam bidang filsafat, teologi, sastra dan masalah-masalah sosial. Ia mudah bergaul dan mengenal dengan baik para mahasiswanya.
Dari beberapa kesempatan bercakap-cakap dengan Mgr. Budi ketika masih di Ledalero, satu hal ini selalu saya ingat. Ketika iseng saya bertanya kepadanya, ‘Hal apa yang membuat Pater sanggup menjalankan sekian banyak amanat dan tugas pelayanan yang dipercayakan serikat dengan baik?’
Budi tidak menyebut kemewahan intelektual yang melekat padanya sebagai modal dasar, juga tidak menyebut kebajikan hidup rohaninya yang istimewa sebagai vitamin yang memberi energi, ia terutama memberi jawaban ini, ‘kesanggupan dan kemauan untuk mendengar.’
Mgr. Budi meyakini bahwa kesanggupan, kemauan dan kerendahan hati untuk mendengar adalah hal paling utama dalam pelayanan.
Mgr. Budi melekat erat dengan teologi terlibat yang ia gagas dan praktikkan. Hemat saya, teologi terlibat adalah juga teologi yang mau mendengar.
Tidak pernah ada keterlibatan tanpa kesediaan, kerelaan dan kemauan untuk mendengar: mendengar jeritan dari orang-orang yang kepada mereka semestinya praksis keterlibatan teologis Gereja mesti tertuju.
Allah yang diyakini dalam teologi terlibat, yang dilukiskan Mgr. Budi sebagai, “Allah yang menawarkan diri demi keselamatan manusia, Allah yang melibatkan diri dalam nasib dan sejarah manusia, dan Allah yang peduli akan manusia dan kehidupannya,” adalah Allah yang telah lebih dahulu mendengar jerit tangis manusia. Keterlibatan Allah adalah tindak lanjut dari kesediaan ‘mendengar’ itu.
Mgr. Budi tentu saja, sebelum ditahbiskan sebagai Uskup Agung Ende, telah banyak mendengar tentang umat keuskupan yang akan digembalakannya.
Ia tentu akan mendengar lebih banyak lagi suara-suara dan jeritan dari umatnya ketika ia sudah berada di tengah-tengah umat dan terlibat lebih mendalam dalam pergumulan dan jerit tangis mereka.
Saya sungguh meyakini bahwa keterlibatan dan karya pastoral yang akan digagas Mgr. Budi sungguh lahir dan berakar pada kesediaan dan kesetiannya untuk ‘mendengarkan’ ini.
Sebab bagi Mgr. Budi, sebagaimana yang ia tegaskan dalam teologi terlibatnya, “Allah yang diimani dan hendak dipertanggungjawabkan di dalam teologi merupakan Allah yang terlibat, Allah yang kekudusannya tidak didefinisikan berdasarkan keterpisahannya yang statis dari dunia yang profan; tetapi Allah yang masuk ke dalam dunia dan sejarah sebagai sumber inspirasi dan daya ubah bagi dunia.” *
Proficiat Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD.
Editor : Wentho Eliando