SURABAYA, FLORESPOS.net-Kalangan pengelola SMP swasta di Surabaya belum menentukan sikapnya pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pemerintah menggratiskan pendidikan untuk jenjang SD-SMP swasta.
Berdasarkan perhitungan kebutuhan anggaran, SMP swasta menilai implementasi kebijakan tersebut memiliki sejumlah tantangan.
Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Swasta Surabaya pada prinsipnya mendukung keputusan MK tersebut. Hanya saja, putusan MK itu harus diikuti dengan kebijakan teknis yang mendukung ekosistem sekolah swasta.
“Kalau itu diperuntukkan untuk semua siswa, lantas siapa yang menanggung biaya operasional siswa, gaji pendidik, dan sebagainya?” kata Wakil Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Swasta Surabaya, Wiwik Wahyuningsih saat dikonfirmasi di Surabaya, Jumat (30/5/2025).
Mengutip data Dinas Pendidikan Surabaya, jumlah SMP swasta di Surabaya mencapai sekitar 267 sekolah atau jauh lebih banyak dibanding SMP negeri yang mencapai 63 sekolah. Setiap tahunnya, ada sekitar 20.000 lulusan SD yang masuk ke SMP swasta di Surabaya.
Itu lebih banyak dibandingkan jumlah yang diterima SMP negeri yang baru sekitar 18.000 siswa. Di Surabaya, setiap sekolah swasta menanggung biaya operasional, termasuk gaji pendidik dengan nilai berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan kekuatan angggaran masing-masing sekolah.
Setiap sekolah, jumlah tenaga pendidik saja bisa mencapai 20 orang, terdiri dari 11 guru mata pelajaran, 2 guru BK, kepala sekolah, penjaga perpustakaan dan laboratorium, dan tenaga administrasi di Tata Usaha (TU).
“Kalau saja minimal mereka digaji Rp 1 juta per bulan, artinya butuh Rp 20 juta per bulan,” kata Wiwik.
Selama ini, sekolah memang mendapatkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun, nilainya baru sekitar Rp 1,2 juta setahun atau Rp 100.000 sebulan.
“Kalau dalam satu sekolah ada 100 murid, artinya setiap bulan sekolah cuma menerima Rp 10 juta,” kata dia.
“Sedangkan kebutuhan untuk gaji saja bisa mencapai Rp 20 juta sebulan. Lantas gaji gurunya dari mana? Belum lagi bayar listriknya, beli ATK (alat tulis kantor), operasional lainnya, terus dari mana? Kalau memang pemerintah mau meng-cover semuanya, it’s oke,” ujar Wiwik.
Menurutnya, salah satu kebijakan yang bisa diambil pemerintah dalam menindaklanjuti keputusan MK yakni memastikan warga kurang mampu bersekolah di sekolah negeri, sehingga intervensi pendidikan dapat diberikan secara penuh.
Misalnya kuota afirmasi bagi warga miskin (gamis) pada Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) bisa ditambah.
Adapun bagi warga non-miskin dapat memilih lembaga swasta sesuai dengan kemampuan masing-masing.
“Sekolah swasta kalau harus dibebaskan (biayanya) semuanya, kami tentu akan kesulitan. Apalagi kalau hanya mendasarkan pada bantuan pemerintah. Selama ini bantuan operasional hanya Rp 100.000 sebulan. Kalau muridnya ada 100 anak, bisa Rp 10 juta. Kalau di bawah 100 murid, dapat berapa? Ini akan menjadi sulit,” katanya.
“Prinsipnya, kami setuju kalau memang SMP swasta digratiskan. Namun dengan catatan, kami minta semua gaji pegawai, biaya operasional, alat tulis, dan sebagainya juga harus ditanggung pemerintah,” kata dia.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi saat ini masih menunggu tindak lanjut putusan MK Nomor 3/PUU-XXIII/2025 tersebut. Keputusan yang menguji Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mewajibkan Pemerintah untuk menggratiskan SD-SMP, tidak hanya di sekolah negeri tetapi juga di sekolah swasta.
“Saya dan DPRD akan melihat masa efektifnya (berlalu) kapan. Yang pasti, kami akan memberikan intervensi sesuai aturan,” kata Wali Kota Eri.
Namun demikian, Cak Eri mengakui butuh anggaran cukup besar untuk menggratiskan seluruh sekolah swasta. Karenanya, saat ini intervensi yang dilakukan Pemkot Surabaya bagi sekolah swasta baru menjangkau siswa dari keluarga miskin dan pra-miskin.
“Kalau saat ini kan sudah (memberikan intervensi) tetapi bagi yang miskin dan keluarga miskin. Jadi kalau yang sejahtera, kami berharap seperti biasanya dengan gotong royong. Pemerintah nggak mungkin kuat. Sehingga kami akan koordinasi dulu dengan DPRD,” kata Cak Eri.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Surabaya, total penerima bantuan pendidikan gamis/pragamis di Surabaya mencapai sekitar 54.000 siswa, tersebar di berbagai jenjang dan jenis sekolah. Di antaranya, sekitar 30.000 siswa SD negeri, 10.000 siswa SMP negeri, 4.400 siswa SD swasta, dan sekitar 5.400 siswa SMP swasta.
Untuk mendukung berbagai program pendidikan, Pemkot Surabaya mengalokasikan belanja fungsi pendidikan sebesar Rp 2,588 triliun atau sekitar 20,96 persen dari total APBD 2025 yang mencapai Rp 12,3 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 2,335 triliun disalurkan melalui Dinas Pendidikan.
Selain menggunakan anggaran pemerintah, banyak sekolah swasta di Surabaya yang mandiri tanpa mengharap bantuan karena masing-masing siswa berasal dari keluarga mampu.
Ada pula program Pemkot Surabaya memberikan intervensi melalui pola CSR dengan program Orang Tua Asuh.
“Saat ini, banyak sekolah yang sudah tidak berharap bantuan. Sehingga agar apa? Masyarakat Surabaya dibangun dengan guyub rukun. Yang mampu jangan berharap jatah orang nggak mampu. Namun bagaimana yang mampu ini justru memberikan manfaat kepada yang tidak mampu,” kata Eri.
Pada pembacaan amar putusan Nomor 3/PUU-XXIII/2025, Ketua MK Suhartoyo menyampaikan bahwa frasa “tanpa memungut biaya” harus dimaknai berlaku bagi seluruh satuan pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta. Dengan demikian, pemerintah pusat dan daerah diminta untuk menjamin akses pendidikan dasar gratis secara merata. *
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi
Sumber Berita : Kompas.com