MAUMERE, FLORESPOS.net-Panggung tampak gelap, para penonton duduk rapi di karpet hitam depan panggung pertunjukan di aula Rumah Jabatan Bupati Sikka, Maumere, Kamis (22/5/2025) malam.
Malam di penghujung pentas teater, Nara Teater dari Larantuka, Kabupaten Flores Timur menampilkan karya Imam Sabadalak yang ditulis dan disutradarai pendiri Nara Teater Silvester Petara Hurit.
Seorang lelaki dengan lantang membacakan narasi terkait lakon yan siap dipentaskan.
Imam ini terus berkuasa dalam segala keagungannya caranya dengan membuat masyarakat betah dengan kondisi kebodohan dan keterbatasannya. Masyarakat harus tetap miskin supaya tetap bergantung kepada mereka.
Pembentukan kaum kecil dihadapkan dengan merapatkan diri berkongkalikong dengan para petinggi negeri. Protes kaum kecil tak lebih dari suara latah kawanan kecoa yang masuk kiri keluar kanan, suara rombeng yang jual murah sekalipun tak akan dibeli.
Sedangkan para imam dan penguasa terus bersulam demi perut yang semakin gendut, demi daging yang kian empuk, demi bibir yang kelewat tebal dan demi ambisi yang kian ranum.
Pertunjukan Imam Sabadalak cerewet penuh olok sebagai cara memeriksa sekaligus menghadirkan dunia yang kian cerewet dan terasa mengolok-olok kita, melihat muka buruk kita seraya menertawakannya tanpa harus marah apalagi membelah kaca cermin itu.
Kritik Sosial
Silvester Petara Hurit saat ditemui di sela-sela pementasan menyebutkan, naskah ini digarap tahun 2029 namun tertunda untuk dipentaskan karena wabah Covid-19 merebak dan melanda negeri.
Sil sapaannya mengakui, pementasan naskah ini dalam festival Maumerelogia menjadi pementasan pertama dengan naskah yang banyak dipotong disesuaikan dengan kondisi kegiatan dan situasi saat ini.
Ia mengatakan, pementasan lakon Imam Sabadalak diadopsi dari situasi riil yang dihadapi masyarakat kecil, kaum termarjinalkan di negeri ini yang selalu terhimpit dan tersisih.
“Siapa sih yang sangat benar-benar peduli terhadap orang-orang kecil hari ini?.Bahkan institusi sekelas agama dan pemerintah, orang-orang elit,penguasa cenderung bekerjasama,” tuturnya.
Padahal kata Sil masyarakat kecil hanya berjuang untuk sekedar makan dan menyekolahkan anak.Tapi sistem sosial, kekuasaan, jangankan pemerintah, bahkan agama yang dengan misi cinta kasih juga tidak lebih baik.
Ia menyentil, hari ini semua mencari untung, kekuasaan ekonomi adalah hukum tertinggi. Dalam banyak kebijakan siapa sih yang memikirkan orang kecil, bahkan lebih memilih mengambil langkah hukum.
“Kemiskinan sengaja dibiarkan, kebodohan pun harus dipelihara sebab orang miskin jangan sekolah tinggi sebab jika sekolah tinggi akan menjadi potensi ancaman,” ucapnya.
Sil menyebutkan, kemiskinan dan kebodohan akan menjadi komoditas yang bagus untuk misalnya politik, saat orang datang menjadi juru selamat.Orang kecil pun dibuat sebagai pesakitan agar selalu membutuhkan uluran tangan.
Ia menyentil, kadang mereka yang datang membantu pun mempunyai misi terselubung, ada keuntungan yang didapat dari membela mereka yang teraniaya,butuh pertolongan.
“Orang kecil dibuat agar tetap menjadi komoditas, dibuat bergantung kepada penguasa agar kekuasaan bisa langgeng. Agar ada utang budi saat penguasa mengulurkan bantuan yang seharusnya sepantasnya diberikan,tanpa embel-embel,” pungkasnya.
Sebuah kalimat dari seorang siswa dalam pementasan ini begitu menggelitik.
Pemimpin Harus Licin…Supaya Tidak Mudah Dipegang…Supaya Gampang Berkelit…Itulah Yang Berkenan Dihadapan…*
Penulis : Ebed de Rosary
Editor : Wentho Eliando