Oleh: Karolus Banda Larantukan
TAHUN ini boleh dikatakan sebagai tahun politik. Pada tahun 2024 ini, pemilihan Presiden dan anggota legislatif (sudah dilaksanakan dan dilantik) pun pemilihan kepala daerah baik gubernur maupun bupati akan dilaksanakan.
Para anggota legislatif dari pusat hingga ke daerah telah dilantik dan pada tanggal 20 Oktober 2024 kemarin, Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik dan diambil sumpahnya. Sementara itu menunggu pemilihan kepala daerah baik gubernur maupun bupati di bulan November 2024 mendatang.
Peristiwa-peristiwa inilah yang menjadikan tahun ini sebagai tahun politik dan dengannya mengumandangkan hak masyarakat sipil dalam berpolitik praksis yakni hak memilih dan dipilih.
Dalam politik praksis yakni memilih dan dipilih inilah kita mengenal paham demokrasi. Demokrasi memberikan kesempatan dan kebebasan kepada masyarakat secara personal untuk berpendapat, memberikan hak untuk memilih dan dipilih. Dan dibalik semua itu, tujuan yang paling mulia adalah demi kesejahteraan bersama.
Dengan kata lain, politik adalah sebuah ajang, dimana segenap masyarakat secara persona mengusahakan dan menyumbangkan dari dalam dirinya kemampuan baik rasio maupun batin demi kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat umum.
Dan dengan demikian, semua masyarakat secara persona terlibat dalam politik dan pada akhirnya menerima keputusan politik yang telah diusahakan dan disumbangkannya secara legowo dan ikhlas serta bertanggungjawab demi kepentingan bersama. Bahwa kesejahteraan bersama lebih utama daripada kepentingan-kepentingan primordial yang ada dibalik tendensi politik.
Politik Dolo-Dolo
Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung pada bulan November mendatang di setiap provinsi dan kabupaten merupakan ajang yang bergengsi.
Bergengsi karena akan memperebutkan sekaligus pembuktian siapakah tokoh dan sosok terbaik yang akan dipilih masyarakat untun memimpin daerahnya sendiri. Pun yang akan terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Flores Timur.
Dalam kebudayaan masyarakat Lamaholot, Kabupaten Flores Timur, ada tarian dolo-dolo yang merupakan tarian massal.
Tarian ini merupakan tarian kebersamaan dalam sebuah hajatan yang pada intinya bergandengan tangan untuk bergembira secara bersama. Tak ada sekat strata sosial di sana. Semua boleh bergabung untuk bergandengan tangan, membentuk lingkaran, menghentakkan kaki secara bersama, dan saling berbalas pantun untuk mengetahui isi hati.
Berbalas pantun dalam tarian dolo-dolo adalah semacam diskusi, bertukar pikiran, menyampaikan maksud hati untuk diketahui oleh person yang hendak dituju. Dengannya kemampuan berpantun bukan sekedar hafalan tetapi harus lahir dari dalam diri, rasio dan batin.
Sementara itu, langkah kaki dalam ber-dolo pun harus dijaga, agar tidak melanggar kaki yang lain. Langkah kaki harus seirama, sesuai bunyi tabu gendang. Genggaman kelingking pun harus erat agar jangan terlepas. Tautan antar kelingking membuktikan bahwa lingkaran yang kuat dalam ber-dolo pun bisa direkatkan oleh hal-hal kecil.
Dan yang kuat berpantun serta menghentakan kaki dan mengayunkan tangan pasti akan bertahan hingga akhir dari tarian massal dolo-dolo tersebut. Mereka yang memulai dari awal dan berakhir secara bersama akan merasakan kegembiraan yang sama. Bahwa apa yang dimulai harus diselesaikan hingga akhir, dan akan lebih bermartabat jika diakhiri secara bersama dalam kegembiraan.
Politik pun seperti bermain dolo-dolo. Langkah kaki dan ayunan tangan harus sesuai aturan main, agar tidak ada yang menjadi korban dan dikorbankan. Politisi yang menari dari awal akan tahu ke mana arah yang dituju.
Politisi serta calon kepala daerah yang tahu dan mengenal arah dan cara bermain politik, akan mampu menyesuaikan dirinya dengan irama sehingga langkah kaki serta ayunan tangan tidak mencederai hati masyarakat melainkan menjadi tontonan yang menarik.
Politisi dan Calon kepala daerah pun harus jago berpantun, karena dalam politik, pantun menjadi sarana ampuh mengukur kualitas lawan politik.
Saling berbalas pantun, berdiskusi dan dialog adalah saran untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Calon yang tidak jago berpantun akan hanya menjadi pemain ‘ompong’ para oligarki. Calon yang tidak jago berpantun, hanya akan mengandalkan bahasa ‘uang’ untuk mencuri hati masyarakat.
Lebih jauh politisi dan calon kepala daerah yang sungguh-sungguh menghayati permainan politik akan bermain dari awal hingga akhir, agar mampu merasakan kegembiraan secara bersama. Bertahan hingga akhir permainan adalah tanggungjawab moril terhadap setiap permainan dan terhadap masyarakat yang ikut terlibat di dalamnya.
Politik Flores Timur hendaknya seperti bermain dolo-dolo: langkah kaki, ayunan tangan, berbalas pantun harus seirama tabu gendang, agar tak ada dusta dan benci antar sesama anak Lamaholot.
Akhir
Tentu saja loyalitas-loyalitas primordial akan melatarbelakangi kontestasi politik ini. Pun seperti tarian dolo-dolo, bergandengan tangan ayunkan kaki rapatkan tubuh membentuk lingkaran harmonis, politik haruslah melampaui berbagai latar belakang loyalitas primordial demi kepentingan dan kesejahteraan bersama.
F. Budi Hardiman, dalam bukunya Demokrasi dan Sentimantalitas (2018) menyebut bahwa demokratisasi adalah proses rasionalisasi.
Salah satu hasil rasionalisasi adalah keberhasilan suatu masyarakat majemuk untuk melampaui loyalitas-loyalitas primordial di dalamnya.
Lewat demokrasi bukan hanya kekuasaan politis, melainkan juga loyalitas-loyalitas primordial terkait etnisitas bahkan agama itu menjadi bagian komunikasi publik dan dikontrol oleh penalaran publik.
Namun, lebih jauh F. Budi Hardiman menyatakan bahwa optimisme akan penalaran publik pun jangan terlalu berlebihan karena sentimentalitas masyarakat masih cukup banyak. Boro-boro mengikuti rasionalitas publik, masyarakat kita masih dalam sentimen-sentimen primordial yang cukup kuat.
Sentimen-sentimen ini berbicara tentang yang santun mengalahkan yang kasar, yang lemah mengalahkan yang kuat, atau yang tak berduit mengalahkan yang berduit, suatu strategi psikologis politis yang bisa dipakai oleh siapapun untuk mencari keuntungan dalam politik.
Jadi membela secara buta calon manapun tidaklah menguntungkan bagi demokrasi. Demokrasi akan diuntungkan jika terjadi kompetisi rekam jejak, kinerja dan program kerja.
Perbaikan kualitas demokrasi tentunya akan berdampak pada peningkatan rasionalitas publik. Dengan cara itu keharmonisan kehidupan masyarakat di tahun politik ini dapat sedikit diwujudkan.
Mari merayakan Pilkada dengan gembira tanpa sentimen! *
Penulis, adalah: Staf Pengajar Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka – Founder Taman Baca Hutan 46 Waibalun
Editor : Wentho Eliando