Oleh: RD. Reginald Piperno
PERTANYAAN seputar bolehkan seorang imam berpolitik, kini tengah ramai diperbincangkan. Diskusi ini semakin memanas ketika proses pilkada mulai menuju ke titik puncak yakni pemungutan suara yang akan terjadi serempak pada tanggal 27 November 2024 mendatang.
Berbagai pendapat berseliweran di media social yang menggiring opini public bahwa berpolitik untuk seorang imam adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan bahkan tabu.
Saya yakin bahwa semua ini adalah upaya dari pihak-pihak tertentu untuk membungkam sikap kritis dari para imam yang menginginkan perubahan dan pembaharuan di tengah masyarakat.
Karena itu melalui tulisan sederhana ini saya ingin membuka wawasan kita untuk melihat secara jernih batasan-batasan mana keterlibatan seorang imam dalam urusan politik berdasarkan Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik dan dokumen-dokumen gereja lainnya.
Sebelum sampai pada pembahasan di atas, saya ingin mengajak kita semua untuk memahami apa tujuan politik sesungguhnya.
Aristoteles filsuf dan ilmuwan terbesar pada zaman Yunani kuno menulis bahwa politik sesungguhnya memiliki tiga tujuan utama yakni: Politik sebagai usaha dari semua warga Negara untuk menciptakan kebaikan barsama (bonum communae) yang menyangkut apa yang benar, baik dan adil bagi semua orang, politik sebagai sebuah kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di tengah masyarakat dan politk sebagai usaha atau proses untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan public sehingga tercipta kesejahteraan umum, kebebasan dari semua warganya untuk mengekspresikan hak-hak individu.
Menilik dari tujuan politik di atas maka jelas bahwa politik ada hak sekaligus kewajiban dari setiap warga negara tanpa kecuali termasuk para imam.
Romo Ardus Jehaut, Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma sekaligus anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand melalui opininya dalam Mirifica News (Majalah online Komisi Komunikas Sosial KWI) menegaskan bahwa secara eksistensial imam adalah makluk politik yang beragama dan makluk agamis yang berpolitk.
Sebagai manusia, politik melekat pada diri seorang imam sebagai hak kodrati, sehingga politik menjadi hak fundamental seorang imam yang tidak diberikan oleh siapa pun termasuk penguasa sehingga tidak bisa diabaikan oleh siapa pun juga (bdk.https://www.mirifica.net. opini).
Atas dasar itu maka sebagai manusia, imam juga memiliki hak politik yang sama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sakramen tahbisan tidak menghilangkan hak seorang imam untuk terlibat dalam politik.
Kendati politik adalah hak fundamental yang bersifat melekat pada diri seorang imam, Kitab Hukum Kanonik gereja Katolik mengatur batasan-batasan keterlibatan para imam dalam urusan politik.
Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1983 Kanon 287, paragraf 2 menyatakan para imam dilarang untuk turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang, hal itu perlu untuk melindungi hak-hak gereja atau memajukan kesejahteraan umum.
Berdasarkan ketentuan kanon di atas jelas bahwa yang dilarang dari seorang imam dalam urusan politik yakni keterlibatan secara aktif dalam partai-partai politik seperti menjadi anggota partai politik, anggota legislatif dari partai politik tertentu, dan menjadi pemimpin dari serikat-serikat buruh.
Ada pengecualian dari kanon ini yakni jika menurut otoritas gerejawi dalam hal ini uskup diosesan menganggap perlu untuk melindungi hak-hak gereja atau untuk memajukan kesejahteraan umum, maka imam diperbolehkan untuk terlibat secara aktif dalam partai-partai politik.
Larangan KHK tahun 1983 kanon 287 paragraf 2 di atas tidak sama sekali meniadakan atau menghapus hak politik seorang imam.
Imam tidak dilarang untuk mengunakan hak suaranya dalam pemilu, berbicara tentang politik, bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan politik dan bersuara lantang tentang kebobrokan praktik-praktik politik kekuasaan.
Imam juga berkewajiban untuk mengadvokasi kebijakan public demi terwujudnya rasa keadilan bagi semua orang. Justru sebagai warga Negara yang baik, seorang imam harus terlibat dalam politik secara sadar dan bertanggungjawab demi tercptanya bonum commune (kebaikan bersama) sebagai salah satu dari tujuan politik itu sendiri.
Paus Fransiskus, dalam surat apostolic Evangelii Gaudium no 49 mengatakan secara tegas, “Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka karena telah keluar ke jalan-jalan dari pada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman dengan diri sendiri”.
Melalui kata-kata ini Paus Fransiskus sesungguhnya mau menekankan tentangnya pentingnya keteribatan gereja (imam) dalam berbagai persoalan kemanusiaan, termasuk persoalan-persoalan ketidakadilan akibat kebijakan-kebijakan politik yang tidak memihak pada mereka yang kecil, miskin dan tersingkirkan.
Gereja (imam) harus berani meninggalkan zona nyaman dan turun ke jalan untuk melihat dan merasakan realitas kehidupan manusia yang semakin hari semakin memprihatinkan.
Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, Uskup Agung Ende dalam buku Teologi Terlibat : Politik dan Budaya dalam Terang Teologi, juga mendorong semua orang Katolik temasuk imam untuk terlibat aktif dalam isu-isu social dan kemanusiaan, mengaitkan antara keyakinan keagamaan dengan tindakan konkret untuk keadilan dan kesejahteraan social. (bdk. Paulus Budi Kleden SVD. Teologi Teribat: Politik dan Budaya dalam Terang Teologi Penerbit Ledalero).
Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa keterlibatan seorang imam dalam berbagai persoalan kemanusiaan termasuk persoalan politik bukan karena ambisi pribadi atau sekedar mencari popularitas murahan.
Keterlibatan seorang imam dalam persoalan politik adalah sebuah panggilan yang mesti dijalankan.
Kitab Hukum Kanonik, ajaran social Gereja dan pesan-pesan para gembala telah membingkai para imam untuk teribat dalam persoalan-persoalan social kemanusiaan termasuk persoalan-persoaln politik.
Imam tidak boleh menjadi penonton yang sopan atau berpuas diri dalam pelukan sentimentalitas dan interioritas yang netral. Ia harus berpihak pada keadilan dan kebenaran.
Ia juga harus konsen dengan berbagai persoalan kemasyarakatan yang mencabik-cabik keutuhan hidup bersama lewat keberanian membunyikan alarm kepedulian moral-etis, mendobrak sumber-sumber ketidakadilan dan membantu umat Allah agar tidak keliru dalam memilih pemimpin. (bdk. Rikardus Jehaut dalam https://www.mirifica.net. opini). Karena itu berpolitk untuk para imam adalah hak dasar yang melekat dan bukan sesuatu yang tabu. *
Penulis, Adalah Badan Pengurus Komisi Keadilan dan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau Konferensi Wali Gereja Indonesia
Editor : Wentho Eliando