Oleh: Walburgus Abulat
KEUSKUPAN Agung Ende (KAE) secara defenitif terbentuk pada 3 Januari 1961 pasca pemimpin tertinggi Gereja Katolik sejagat Sri Paus Johanes XXIII mengeluarkan Konstitusi Apostolik Quod Christus yang menetapkan pembentukan Hierarki Gereja Katolik di Indonesia di mana salah satunya meningkatkkan status Vikariat Apostolik Ende menjadi Keuskupan Agung Ende.
Mengacu pada konstitusi ini dan pendefenitifan terbetuknya Keuskupan Metropolitan Agung Ende itu maka sesungguhnya de facto dan de jure sudah ada lima orang uskup yang sudah dan sedang memimpin Keuskupan Agung ini dalam tentang waktu 1961 hingga terpilihnya uskup kelima Mgr. Paul Budi Kleden, SVD oleh Tahta Suci pada Mei 2024 lalu.
Mgr. Paul Budi Kleden, SVD dipercaya oleh Pemimpn Tertinggi Umat Katolik Sedunia Sri Paus Fransiskus menjadi Uskup KAE pada 25 Mei 2024.
Mgr. Paul Budi Kleden, SVD dipercaya menggantikan Mgr. Vincentius Sensi Potokota yang berpulang ke Pangkuan Ilahi pada 19 November 2023 lalu.
Empat uskup agung Ende sebelumnya adalah Mgr. Gabriel Manek, SVD (1961-1969); Mgr. Donatus Djagom, SVD (alm) Uskup Agung Ende 1969-1996; Mgr. Abdon Longginus da Cunha (alm) Uskup Keuskupan Agung Ende 1996-2006; dan Mgr. Vincentius Sensi Potokota (alm) Uskup Keuskupan Agung Ende 2006-2023.
Quo Vadis Reksa Pastoral KAE?
Di balik fakta terbentuknya KAE di atas, serta ada 5 Uskup Agung yang sudah dan sedang memimpin Keuskupan Metropolitan ini, maka pertanyaan muncul kemanakah (Quo Vadis) arah reksa pastoral (terutama tugas sebagai imam, nabi dan raja) para uskup Agung yang pernah menggembalakan umat di KAE, khususnya Uskup Agung Terpilih Mgr. Paul Budi Kleden, SVD yang ditahbiskan menjadi Uskup oleh Duta Besar Vatikan Untuk Indonesia, Mgr. Pierro Pioppo pada 22 Agustus 2024?
Untuk mengetahui arah reksa pastoral Uskup Agung Terpilih Mgr. Paul Budi Klede. SVD, alangkah baiknya, kita melihat secara sekilas arah pastoral para uskup Agung Ende terdahulu, khususnya selama tugas kegembalaan Mgr. Donatus Djagom, SVD; Mgr. Abdon Longginus da Cunha, dan Mgr. Vincetius Sensi Potokota.
Ketiga uskup agung Ende ini mengawali tugas mereka di bawah spirit kegembalaan mereka yang dapat kita ketahui dari moto tahbisan mereka saat ditahbiskan menjadi uskup.
Uskup Agung Ende, Mgr. Donatus Djagom, SVD (1968-1996) misalnya mengusung moto tahbisan Praedicamus Christum Cruxifixum (Wartakanlah Kristus yang tersalib.
Sementara Mgr. Abdon Longinus da Cunha (1996-2006) mengusung moto tahbisan Audiens et Proclamans: Dengar dan wartakanlah (1 Sam 2: 35).
Sedangkan Mgr. Vincentius Sensi Potokota (2006-2023) mengusung moto “Praedica Verbum Opportune, Importune: Wartakanlah Sabda, baik atau tidak baik waktunya (2 Tim 4:2).
Selama tugas kegembalaan Uskup Donatus Djagom, SVD terlahirlah program kemandirian Gereja Keuskupan Agung Ende dalam bidang iman, personalia, keuangan.
Tiga Program Kemandirian di atas dan berkat adanya dukungan tim pastoral dan umat, maka sejak tahun 1987, Uskup Agung kelahiran Bilas, Kolang, Manggarai Barat itu menyelenggarakan Musyawarah Pastoral (Muspas) I.
Lalu dilanjutkan Muspas II (1988), dan Muspas III (1993). Tiga Muspas ini melahirkan upaya-upaya pembaruan karya pastoral Gereja Keuskupan Agung Ende.
Salah satu terobosan yang dilakukan Mgr. Donatus Djagom yang patut kita catat bagaimana beliau pada akhir masa jabatannya menyiapkan penggantinya dari imam diosesan, dalam diri RD. Abdon Longinus da Cunha. Mgr. Donatus Djagom, SVD memberi kepercayaan yang sangat besar kepada imamnya sendiri sebagai pengganti Uskup Agung Ende.
Hal itu menjadi bukti semakin kuatnya kemandirian Gereja KAE di bidang personalia. Kemandirian ini seirama dengan keinginan kuat Tahta Apostolik bahwa pada akhirnya, Gereja lokal mesti digembalakan oleh seorang uskup yang berasal dari kalangan imam diosesan.
Mgr. Abdon Longinus da Cunha menggembalakan umat KAE selama 10 tahun (1996–2006). Tugas kegembalaannya berakhir pasca ia menghembuskan nafas terakhir pada tahun 2006.
Pada masa kegemblaan Uskup Abdon Longinus da Cunha, reksa pastoralnya selain melanjutkan program pastoral pendahulunya, pada masa jabatannya dimaknai dengan aneka terobosan pastoral dengan memperkuat kemandirian Gereja KAE.
Uskup Abdon Longinus melalui Muspas Keuskupan Agung Ende, beliau bersama Dewan Pastoral menetapkan Arah Dasar (Ardas) Pastoral KAE, yakni pembebasan dan pemberdayaan komunitas umat basis hingga menjadi komunitas perjuangan.
Melalui semangat komunitas perjuangan, maka partisipasi umat keuskupan ini semakin meningkat pada pelbagai bidang, khususnya bidang personalia dan finansial.
Pada masa tugas kegembalaannya, Mgr. Abdon Longinus da Cunha juga memperhatikan secara khusus karya Pendidikan Katolik dengan memprakarsai dan menyelenggarakan Musyawarah Pendidikan Katolik (Musdikat) pada tahun 1997.
Satu hal yang perlu dicatat pada masa kepemimpinan Mgr. Longinus da Cunha, mulai digencarkan proses pemekaran KAE menjadi Keuskupan Maumere dan Bajawa.
Berkat doa semua pihak, maka Tahta Apostolik menetapkan pembentukan Keuskupan Maumere dan mengangkat seorang imam diosesan Keuskupan Agung Ende RD. Vincentius Sensi Potokota menjadi Uskup Pertama Keuskupan Maumere pada tanggal 14 Desember 2005.
Setahun kemudian setelah kabar gembira ini, Mgr. Abdon Longinus da Cunha meninggal dunia. Untuk mengisi lowongan tugas Tahta Uskup Agung Ende, maka otoritas gereja mempercayakan Vikaris Jenderal KAE RP. Yosef Seran, SVD sebagai Administrator Diosesan dari tahun 2006-2007.
Tatha Suci kemudian menunjuk Mgr. Vincentius Sensi Potokota Uskup Keuskupan Maumere menjadi Uskup Agung Ende.
Penunjukan ini ditaati oleh Mgr. Vincentius Sensi sehingga ia iklhas meninggalkan Keuskupan Maumere yang sedang ditatanya dan mengambil alih Tahta Uskup Agung Ende.
Reksa pastoral dan tugas kegembalaan Mgr. Vincentius Sensi selama memimpin KAE selain diwarnai komitmennya untuk meneruskan program pastoral dari para pendahulunya, terutama berkenaan dengan pelaksanaan Musyawarah Pastoral dan implementasinya dalam karya pastoral, juga yang menarik adalah bagaimana Mantan Direktur Spiritual Fratres Tahun Orientasi Rohani (TOR) Seminari Tinggi Interdisesan Santo Petrus Ritapiret Uskup Sensi ini berkomitmen mengimplementasikan hasil-hasil Musyawarah Pastoral dan Sidang Lintas Perangkat Pastoral.
Untuk maksud itu, Mantan Direktur Pastoral KAE itu selalu mendayagunakan semua sumber daya yang dimiliki oleh Gereja KAE sebagai persekutuan komunitas umat basis yang injili, mandiri, solider, dan misioner.
Hal menarik lainnya yang mewarnai tugas kegembalaan Mgr. Vincentius Sensi adalah bagaimana beliau secara serius menata status yuridis struktur internal Gereja KAE dan bagian-bagiannya yang kurang dipahami sesuai dengan maksudnya sebagai suatu Lembaga Badan Hukum Keagamaan Katolik yang diakui oleh Negara Republik Indonesia. Hal ini beliau lakukan untuk menjawabi kebutuhan Gereja KAE di dalam tata dunia selaras zaman.
Wujud konkret penataan terlihat dalam pelbagai upaya penguatan (deklarasi) Gereja KAE dan bagian-bagiannya sebagai Lembaga Badan Hukum Keagamaan Katolik melalui sejumlah akta notaris, baik untuk Anggaran Dasar maupun Pernyataan Pendiriannya.
Tak hanya sampai di situ, Mgr. Vincentius Sensi juga mengajukan permohonan kepada Kementerian Agama Republik Indonesia terkait penetapan subjek hukum dalam Gereja KAE sebagai Lembaga Badan Hukum Keagamaan Katolik yang didasarkan pada Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Nomor 25 Tahun 2016.
Pengajuan permohonan ini dijawab oleh Kementerian Agama RI melalui Surat Keputusan Menteri Agama, Nomor 498–577, Tanggal 11 Oktober 2021 Tentang Penetapan Paroki, Seminari, dan Rumah Bina menjadi Lembaga Badan Hukum Keagamaan Katolik.
Penataan yuridis struktur internal Gereja KAE sebagai Lembaga Badan Hukum Keagamaan Katolik ini, tidak saja membantu Gereja KAE untuk diakui oleh Negara.
Hal itu sekaligus membantu Gereja KAE menyelenggarakan karya pastoral yang semakin baik dan terstruktur dengan sistem dan mekanisme kerja yang khas.
Berkaitan dengan penyelengaraan karya pastoral ini, beliau menghendaki agar Gereja KAE memiliki Statuta Pengurus Gereja dan Dana Papa Miskin KAE (Statuta PGDPM KAE) sebagai peraturan-peraturan yang ditetapkan sesuai dengan norma hukum untuk universitas personarum (kelompok orang) dan (universitas personarum) dan universitas rerum (kelompok benda).
Dalam statuta ini dirumuskan beberapa nomenklatur penting: tujuan, penataan, kepemimpinan, dan tata kerjanya (sistem dan mekanisme). StatuS PGDPM KAE ini menjadi pedoman dasar bagi perumusan pedoman-pedoman turunan, yang berkenaan dengan karya-karya perutusan Gereja KAE di bidang kesalehan, kerasulan, dan karitatif, baik spiritual maupun duniawi.
Peliharalah Kasih Persaudaraan
Setelah secara sekilas kita mengetahui reksa pastoral tiga uskup terdahulu Uskup Agung Ende, saat ini 600 ribu umat Katolik KAE dihadapkan pada satu pertanyaan dan permenungan mendasar kemanakan arah reksa pastoral Keuskupan Agung Ende di bawah tugas kegembalaan Mantan Pemimpin Tertinggi Kongregsi Serikat Sabda Allah atau Societas Verbi Divini (SVD) Sejagat yang berkantor di Roma Italia itu?
Pertanyaan ini pasti akan terjawab setelah Uskup terpilih ditahbiskan menjadi Uskup Agung oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr. Piero Pioppo pada Kamis 22 Agustus 2024.
Uskup Agung Ende yang baru ini mengusung moto tahbisan Uskupnya yang diambil dari Surat kepada Jemaat Ibrani pasal 13 ayat 1 yang demikian petikannya Caritas Fraternitatis Maneat in Vobis (Peliharalah Kasih Persaudaraan).
Moto ini tentu memiliki makna mendalam yang menjadi paduan tugas kegembalaan Mgr. Paul Budi Kleden,SVD selama mengemban tugas mulia ini di Keuskupan Agung Ende.
Moto tahbisan ini nampaknya secara spiritual dan pastoral memiliki kesinambungan dari moto-moto tiga uskup Agung Ende sebelumnya yang memiliki tiga moto yang menjadi inspirasi tugas kegembalaan mereka dan juga tentu yang menjadi landas pihak kebijakan reksa pastoral mereka selama memimpi KAE.
Uskup Agung Ende, Mgr. Donatus Djagom, SVD (1968-1996) misalnya mengusung moto Praedicamus Christum Cruxifixum (Wartakanlah Kristus yang tersalib (1 Kor 1:23).
Sementara Mgr. Abdon Longinus da Cunha (1996-2006) mengusung moto tahbisan Audiens et Proclamans: Dengar dan wartakanlah (1 Sam 2: 35).
Sedangkan Mgr. Vincentius Sensi Potokota (2006-2023) mengusung moto “Praedica Verbum Opportune, Importune: Wartakanlah Sabda, baik atau tidak baik waktunya (2 Tim 4:2).
Sementara moto tahbisan Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD mengusung moto “Caritas Fraternitatis Maneat In Vobis: Peliharalah Kasih Persaudaraan (Ibrani 13:1).
Moto ini semakin menampakkan warna persaudaraan kasih, termasuk arah reksa pastoral ke depan setelah Mantan Superior General SVD itu menguraikan secara detail Lambang Uskup Agung yang digembalakannya dalam tampilan topi hirarki dalam tali berumbai yang disederhana serta perisai warna hijau adalah warna tradisional untuk Uskup Agung, juga 10 rumbaian berbentuk segitiga-segitiga kecil bersusun dan terdapat pula salib dan perisai yang dirancang menurut tradisi dengan memiliki 10 makna mendalam sebagaimana yang dirilis resmi pantia tabbisan Uskup Agung Ende tahun 2024.
Inilah 10 petikan lengkap makna lambang Uskup Agung Ende di bawah tugas kegembalaan Mgr. Paul Budi Kleden, SVD.
Pertama, Segitiga Tritunggal Mahakudus. Kasih persaudaraan itu bersumber dan mengalir dari relasi Ilahi Trinitas: Persatuan Kasih Allah Bapa, Allah Putra-Allah Roh Kudus.
Kedua, Topi Petani: tanda kesederhanaan dan perlindungan inilah panggilan tugas yang dijalankan dalam cara yang sederhana demi menyapa umat dalam serba situasi yang dihadapi, terutama dalam bidang penggembalaan umat Allah Keuskupan Agung Ende.
Ketiga, burung merpati: tanda kehadiran dan kuasa Allah Roh Kudus saat Yesus dibaptis memulai awal perutusanNya dan yang dicurahkannya kepada Gereja pada Pentekosta. Roh Kudus adalah jiwa Ilahi Gereja.
Keempat, Kitab Suci. Dalam terang Roh Kudus Gereja dipanggil untuk mendengar, menafsir, mengamalkan dan mewartakan Tuhan yang bersabda melalui Kitab Suci, alam ciptaan dan peristiwa sejarah. Warna merah pada sisi Kitab Suci adalah lambang kemartiran, pewartaan dan kesaksian akan Firman Tuhan menuntut pengorbanan.
Kelima, Bunda Maria dan Ketiga Kuntum Bunga. Huruf M adalah presentasi nama Bunda Maria. Santa Perawan dikandung tanpa noda adalah Pelindung Keuskupan Agung Ende. Ketiga kuntum bunga itu adalah presentasi tiga wilayah Kevikepan KAE yakni Bajawa, Mbay, dan Ende. Ketiga wilayah ini dipersatukan dalam kasih Keibuan Bunda Maria yang menginspirasi dan meneguhkan kita untuk setia memelihara kasih persaudaraan.
Enam, warna kuning. Inilah warna simbol harapan. Hal ini mengungkapkan citra seluruh umat Allah dalam (Kevikepan, Paroki, KUB) sebagai Gereja peziarah dalam harapan. Kita semua dipanggil untuk menjadi terang untuk mewartakan terang sejati yakni Kristus Cahaya Dunia.
Ketujuh, Figur Para Peziarah. Semua figur peziarah adalah gambaran para anggota gereja, kaum peziarah, anak-anak, kaum religius, para ibu dan bapak , para imam, kaum muda, para pegawai dan kaum intelektual serta uskup membentuk komunitas yang memelihara kasih persaudaraan, dan mengundang semua orang lain untuk menghidupkan kasih persaudaraan.
Kedelapan,warna hijau. Warna hijau mengisyaratkan hijau dan suburnya alam Flores. Kita dipanggil untuk memelihara kasih persaudaraan itu juga dengan seluruh alam ciptaan Tuhan.
Kesembilan, Laut Sawu dan Laut Flores. Laut Sawu yang bergelora itu mengungkapkan tantangan sekaligus menuntut keberanian hati untuk mengarungi zaman, membawa kabar sukacita persaudaraan. Itulah Gereja bagai bahtera mengarungi zaman.
Namun iman yang teguh pada Tuhan dalam doa dan devosi bersama Bunda Maria menuntun kita dalam kasih persaudaraan masuk ke suasana laut Flores yang relatih lebih teduh dan tenang.
Kesepuluh, Caritas Fraternitatis Maneat In Vobis: Peliharalah Kasih Persaudaraan (Ibrani 13:1).
Wujudkan Kasih Persaudaraan Secara Bersama
Uskup Terpilih Keuskupan Agung Ende, Mgr. Paul Budi Kleden, SVD dalam ungkapan ketulusan hatinya saat tiba di Ende, Sabtu 10 Agustus 2024 antara lain menggarisbawahi pentingnya dukungan semua pihak dalam upaya mewujudkan kasih persaudaraan Kristiani sesuai dengan amanat Sang Gembala Agung Tuhan Yesus Kristus selama tugas kegembalaannya di Keuskupan Metropolitan Agung Ende.
“Hari ini, saya di sini (Kota Ende, Red). Hari Sabtu lalu, saya tiba di Jakarta. Saya butuh 8 hari untuk dengan seluruh badan dan hati tiba di Ende karena saya tahu, saya sangat sadar bahwa seluruh Keuskupan Agung Ende membutuhkan seluruh diri saya, karena itu saya ada di sini dengan hati dan badan saya. Hari ini saya secara pribadi datang untuk ada bersama dengan umat Keuskupan Agung Ende yang menjadi gembalamu demi mewujudkan bersama-sama kasih persaudaraan Kristiani sesuai dengan amanat Sang Gembala Agung Tuhan kita Yesus Kristus,” kata Mgr. Paul Budi Kleden, SVD.
Itulah secara sekilas secuil gambaran awal arah reksa pastoral para uskup Agung Ende, dan khususnya arah reksa pastoral Uskup Agung terpilih Mgr. Paul Budi Kleden, SVD.
Semoga moto, lambang Uskup Agung Ende, dan ungkapan hati Mgr. Paul Budi Kleden, SVD di atas serta tingginya animo warga lintas agama Kabupaten Ende menyambut kedatangan Mgr. Paul Budi Kleden, SVD saat tiba di Ende pada Sabtu (10/8/2024) dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan kemanakah arah (quo vadis) reksa pastoral KAE selama tugas kegembalaannya ke depan.
Kita mendoakan agar Uskup Terpilih Mgr. Paul Budi Kleden, SVD diberikan kepenuhan rahmat untuk mengimplementasikan moto tahbisannya dan lambang Uskup yang dipimpinnya dalam reksa pastoral yang diwarnai Peliharalah Kasih Persaudaraan atau Caritas Fraternitatis Maneat In Vobis. Deus Benedicat–Tuhan memberkati. *
Penulis adalah Jurnalis, Penulis Buku, dan Anggota Komsos Keuskupan Maumere
Editor : Wentho Eliando