Oleh Wartawan Florespos.net Walburgus Abulat, Nomor HP 081330627795
Fiat justitia pereat mundus-Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun dunia harus binasa. Demikian adagium bahasa latin bermakna yang disampaikan Raja Hungaria dan Bohemia Ferdinand I (1503–1564).
Adagium ini hampir mirip dengan ungkapan Fiat justitia ruat caelum yang berarti Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. Adagium terakhir ini diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM).
Ungkapan bermakna, baik yang disampaikan Raja Hungaria Fedinand I, maupun Lucius Calpurnius Piso Caesonius di atas layak disandangkan kepada sosok pejuang kemanusiaan dan keadilan Suster Eustochia Monika Nata, SSpS atau yang akrab disapa Suster Eustochia.
Betapa tidak. Suster Eustochia selama 24 tahun berkarya di Divisi Perempuan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) sejak tahun 1997, tak henti-hentinya mencurahkan seluruh perhatiannya dalam upaya membebaskan orang-orang sederhana, khususnya kaum perempuan dan anak korban perdagangan orang, kekerasan dan ketidakadilan lainnya di Flores dan NTT umumnya, dan Kabupaten Sikka, khususnya.
Di hati Suster Eustochia terpahat tekad membara agar keadilan bagi kaum perempuan dan anak korban kekerasan seksual, korban perdagangan orang harus ditegakkan, dalam situasi apa pun, meskipun terkadang ada pelbagai kendala dan tantangan datang menghadang.
Ya, Suster Eustochia merupakan sosok biarawati Kongregasi Religius Suster Abdi Roh Kudus atau dalam Bahasa Latinnya Congregatio Misionalis Servarus Spiritus Sancti (SSpS) selalu total berjuang dan mengabdikan seluruh dirinya untuk mewujudkan keadilan selama memimpin Divisi Perempuan TRUK-F selama 24 tahun, sejak 6 November tahun 1997 hingga ajal menjemputnya pada 8 November 2021.
Biarawati asal Nggela, Kabupaten Ende itu selama mengemban tugas sebagai Koordinator Divisi Perempuan TRUK-F tampil sangat heroik dan tak kenal lelah.
Ia memperjuangkan keadilan, harkat dan martabat kaum perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual, korban perdagangan orang, dan korban ketidakadilan lainnya yang dialami warga Flores dan Lembata, khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya.
Ada ribuan korban ketidakadilan, korban kekerasan seksual, korban perdagangan orang, dan korban kemanusiaan lainnya yang diperjuangkan dan terus disuarakan oleh Suster Eustochia, SSpS selama dipercaya menjadi Koordinator Divisi Perempuan TRUK-F sejak tahun 1997 hingga November 2021.
Beberapa korban ketidakadilan yang pernah ditangani Suster Eustochia dan kru TRUK-F. Di antaranya memperjuangkan keadilan bagi 10 pekerja salah satu Toko Roti di Kota Maumere yang menjadi korban perdagangan orang asal Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), dan Belu pada Januari 2015.
Dalam advokasi kasus ini, Suster Eustochia tak hanya melakukan pendampingan saat proses hukum berjalan, tetapi juga para korban ditampungnya di Shelter Santa Monika TRUK-F selama beberapa bulan, sebelum mereka diantar ke kampung halamannya.
Selama tahapan proses hukum, Suster Eustochia bersama belasan pastor dan suster di antaranya Provinsial SSpS Flores Bagian Timur (FBT), Suster Inosensia Loghe Pati,SSpS; Wakil Provinsial Sr. Thomasin, SSpS; Suster Ines Surat Lanan, SSpS; Reverendus Pater (RP.) Otto Gusti Madung, SVD; RP. Hendrik Dori Wuwur, SVD; RP. Marsel Vande Raring, SVD; RP. Toni Faot, Cs mendampingi 10 korban ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polres Sikka pada pada Sabtu 17 Januari 2015.
Di hadapan penyidik Polres Sikka, Suster Eustochia, mendesak agar pelaku kasus ini diproses sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
Berkat pengawalan dan pendampingan intensif dari Suster Eustochia dan didukung kinerja aparat penegak hukum maka jaksa menahan suami istri pemilik salah satu Toko Roti di Kota Maumere dengan status untuk suami ditahan di Rutan Maumere, sementara istrinya menjalani tahanan Kota pada Selasa 2 Februari 2015.
Selama proses hukum kasus ini berjalan, Suster Eustochia, selalu mengawal jalannya proses hukum, termasuk menggelar rapat konsolidasi Kru TRUK-F dan mitra kerja pegiat kemanusiaan di Kantor TRUK-F pada Kamis 25 Februari 2015.
Berkat pendampingan intensif dan suara keadilan yang terus digemakan Suster Eustochia dan tim jejaring HAM maka aparat hukum memvonis suami istri pelaku dugaan perdagangan orang kasus ini masing-masing 1 tahun dan denda Rp100 juta untuk dua terpidana.
Selain kasus 10 karyawan toko di atas, kasus lain yang menjadi perhatian Suster Eustochia dan kru TRUK-F adalah kasus perdagangan orang yang dialami 17 pekerja pub yang berasal dari Jawa Barat yang dipekerjakan pada beberapa pub di Kota Maumere tahun 2021 lalu. Para pekerja yang jadi korban perdagangan orang ini dijaring oleh Tim Polda di beberapa Pub di Kota Maumere pada 14 Juni 2021.
Dalam advokasi kasus ini, Suster Eustochia selalu tampil pada garda terdepan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan korban perdagangan orang yang nota bene semuanya beragama Islam, dan selalu mendampingi korban saat proses hukum, maupun bersedia menampung mereka (korban) di Kantor TRUK-F Maumere selama beberapa pekan.
Suster Eustochia juga selalu membela dan memperjuangkan keadilan bagi 17 korban yang dijaring di pub itu, dengan mitra kerja di tingkat pusat seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI , Mabes Polri, dan Komnas Perempuan.
Satu hal yang patut dicatat bahwa perjuangan untuk menegakkan keadilan bagi para korban kekerasan seksual, korban perdagangan orang, dan korban ketidakadilan lainya terus dilakukan oleh Suster Eustochia, Kru TRUK-F dan mitra kerjanya. Bahkan perjuangan itu dilakukan Suster Eustochia, SSpS hingga menjelang akhir hidupnya atau lima hari menjelang kematiannya pada 8 November 2021.
Pada tanggal 2 November 2021, Suster Eustochia, SSpS memimpin aksi demo di Markas Polres Sikka dan di Kantor Kejari Maumere untuk memperjuangan keadilan bagi 17 pekerja pub yang menjadi korban perdagangan orang.
Dalam aksi ini, Suster Eustochia menyuarakan aspirasi kaum tak bersuara dengan meminta arapat penegak hukum untuk memproses pelaku sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
“Kami minta agar aparat penegak hukum memproses pelaku,” kata Suster Eustochia dengan nada lantang.
Selain dua kasus di atas, juga ada ratusan kasus kekerasan, KDRT, dan human traffingking dengan ribuan korban menjadi concern perjuangan Suster Eustochia dan Kru TRUK-F.
Tiga kasus di antaranya yakni kasus perdagangan orang yang dialami seorang perempuan berusia 12 tahun pada tahun 2003, kasus kekekrasan dalam rumah tangga yang dialami istri berstatus pegawai negeri sipil yang ditangani TRUK-F pada tahun 2009, dan kasus perdagangan orang di mana korban ada tiga perempuan dari Jawa yang dipekerjakan pada salah satu pub pada tahun 2010. Semua korban diberikan pendampingan oleh Suster Eustochia dan Kru TRUK-F sesuai visi dan misi lembaga ini.
Sementara pada tataran misi kemanusiaan di medan bencana dan masalah pengungsian, Suster Eustochia menjadi salah satu garda terdepan melayani perempuan dan anak yang menjadi korban politik (Timor Leste) tahun 1999/2000, dan fokus menangani perempuan dan anak yang menjadi korban bencana yang turun langsung ke lokasi bencana, baik bencana gempa dan tsunami Aceh tahun 2004/2005 (bertugas selama empat bulan di Kabupaten Aceh Singkil), maupun korban bencana di sejumlah tempat di Indonesia di antaranya misi kemanusiaan untuk korban erupsi gunung berapi Rokatenda, Palue tahun 2013; misi kemanusiaan untuk korban bencana alam Palu, Donggala tahun 2018; dan misi kemanusiaan untuk korban bencana alam Badai Seroja di Lembata tahun 2021.
Dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak korban kekerasan di atas, serta menjalankan misi kemanusiaan di daerah bencana, Suster selalu tampil dengan totalitas membela hak-hak mereka dan memberikan aneka bantuan kemanusiaan.
Perjuangan Suster Eustochia untuk membela kaum perempuan dan anak korban ketidakadilan itu selalu berakar pada kekuatan Allah Tritunggal Maha Kudus yang selalu hidup dalam hati manusia.
Spiritualitas inilah yang selalu dihidupi Kongregasi SSpS, termasuk Suster Eustochia. Relasi ini terlihat dalam semboyan Kongregasi SSpS “ Vivat Deus Unus Et Trinus In Cordibus Nostris” yang berarti Hiduplah Allah Tritunggal Dalam Hati Kita.
Dalam spirit Kongregasi SSpS dan sejalan dengan ketulusan pelayanan misi kemanusiaannya, Suster Eustochia selalu tampil sebagai sosok yang menyuarakan suara kaum tak bersuara (Voice of The Voiceless) dan total membaktikan diri untuk membela hak-hak mereka.
Ya itulah, secara sekilas sosok Suster Eustochia, SSpS yang membela nasib perempuan dan anak hingga ajal menjemputnya.
Sebelum meninggal, dalam pelbagai kesempatan, termasuk saat peletakan batu pertama pembangunan Gedung Berlantai II TRUK-F pada 15 Desember 2020, atau 10 bulan menjelang wafatnya, Suster Eustochia berpesan kepada semua Kru TRUK-F dan masyarakat yang hadir saat itu agar karya kemanusiaan yang telah dimulai dan diperjuangkannya selama ini bersama TRUK tidak boleh mati. “Saya (Suster Eustochia) boleh mati, tetapi karya kemanusiaan TRUK tidak boleh mati,” pesan Suster Eustochia saat itu.
Pesan atau wasiat Suster Eustochia ini juga digemakan kembali oleh Dosen Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero RP. Dr. Leo Kleden, SVD yang juga Mantan Provinsial SVD Ende, saat membawakan khotbah misa peringatan satu tahun wafatnya Suster Eustochia di Lapangan Yayasan Santo Gabriel Maumere, pada 8 November 2022.
Dalam misa yang dipimpin Uskup Maumere Mgr. Edwaldus Martinus Sedu pada saat itu, Pater Leo menyentil lagi pesan bermakna yang selalu digaungkan Suster Eustochia, “Saya (Suster Eustochia, Red) boleh mati, tetapi karya kemanusiaan tidak boleh mati” kata Pater Leo mengutip pesan yang disampaikan Suster Eustochia.
Menurut RP. Leo, pesan yang ditinggalkan Suster Eustochia ini mau mengingatkan siapa saja, khususnya Kru TRUK-F untuk selalu melihat wajah Yesus dalam wajah sesama yang menderita.
“Suster Eustochia mau berpesan kepada TRUK-F untuk selalu melihat wajah Yesus yang menderita dalam wajah sesama yang mereka layani,” kata RP. Leo.
Menurut Pater Leo, kepemimpinan dan stuktur boleh berganti/berubah, tetapi roh dan semangat dasar TRUK-F yakni tetap sama yakni pelayanan kasih tanpa pamrih, terhadap orang-orang kecil, miskin, tertindas dan terpinggirkan.
Wasiat Suster Eustochia di atas, juga digelorakan lagi oleh Provinsial SSpS Flores Bagian Timur (FBT) Sr. Ines Surat Lanan, SSpS dalam sambutannya saat misa 1 tahun meninggalnya Suster Eustochia pada 8 November 2022 lalu.
“Saya (Suster Eustochia, SSpS) boleh mati, tetapi misi kemanusiaan tidak boleh mati,” demikian wasiat yang ditinggalkan Suster Eustochia yang disentil lagi oleh Suster Ines.
Suster Ines bersaksi bahwa untaian kata-kata yang diwasiatkan Suster Eustochia itu menjadi nada dan nafas yang memberikan kehidupan bagi dirinya, bagi TRUK-F, bagi SSpS, bagi SVD, dan seharusnya bagi semua orang yang mendengarkan sambutannya saat itu.
“Saya merasakan bagaimana untaian kata-kata ini menjadi nada yang memberi kehidupan kepadanya. Pada saat yang sama, saya merasakan kata-kata ini menjadi nafas yang sama, saya merasakan kata-kata itu menjadi nafas yang memberi kehidupan bagi saya secara pribadi, bagi TRUK-F, bagi SSpS, bagi SVD, dan seharusnya bagi semua orang yang mendengarkan sambutan malam ini,” kata Suster Ines.
Suster Ines berharap agar wasiat Suster Eustochia yang menggugah dan menggugat nurani, yang menggedor dan menghipnotis semua elemen warga ini bisa menginspirasi bagi siapa saja untuk terus berkolaborasi,dan terus merajut gerakan bersama antara pemerintah, gereja dan masyarakat dalam upaya melanjutkan misi kemanusiaan biarawari SSpS asal Nggela Kabupaten Ende itu.
Profil Singkat
Suster Eustochia lahir di Nggela, Kabupaten Ende pada 26 Desember 1941.Ia menjalani pendidikan SD di SDK Nggela, Lio 1951-1957; SMP di Lela 1957-1961; SMA di Maumere 1964-1966; dan Studi Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 1975-1978.Kaul pertama di Kongregasi SSpS pada tahun 1964, dan kaul kekal pada tahun 1971.
Selama hidupnya, Suster Eustochia pernah menjalani beberapa profesi di antaranya sebagai Guru di beberapa sekolah di Maumere di antaranya SPG Bhaktyarsa Maumere dan menjadi Kepala Sekolah lembaga pendidikan calon guru itu selama 1980 hingga 1988, Pemimpin Postulan dan Novis SSpS di Hokeng, Flores Timur tahun 1988-1996; Pemimpin Komunitas Kongregasi SSpS Kewapante 1996-2002; dan sejak tahun 1997 hingga ajal menjemputnya ia dipercaya menjadi Koordinator Divisi Perempuan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F).
Selain menjadi Koordinator TRUK-F, Suster Eustochia juga tampil sebagai narasumber di pelbagai momen kegiatan kemanusiaan baik lokal, nasional dan internasional di bidang persamaan hak asasi manusia, persamaan gender, keadilan dan perdamaian, perjuangan hak-hak perempuan dan anak.
Salah satu andil Suster Eustochia di kancah Internasional tatkala ia dipercaya sebagai salah satu narasumber pertemuan Internasional yang diselenggarakan Status Perempuan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York pada 22 Maret 2022.
Pada momen internasional yang dilangsungkan secara Zoom Meeting ini, Suster Eustochia membawakan materi berjudul ‘Kemitraan TRUK dan Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di NTT.”
Suster Eustochia Monika Nata, SSpS meninggal dunia di RS Santo Gabriel Kewapante, Kabupaten Sikka pada Senin 8 November 2021 pukul 02.15 Wita.
Ya itulah gambaran sekilas sosok pejuang kemanusiaan Sr. Eustochia Monika Nata yang tak henti-hentinya menyuarakan suara kaum tak bersuara (voice of the voiceless) selama masa hidupnya, yang total membaktikan diri bagi mereka bahkan yang berjuang hingga titik darah terakhir-menjelang ajal menjemputnya.
Kiranya semangat Suster Eustochia terpatri dalam diri kita semua yang lagi berziarah di dunia ini, khususnya bagi siapa saja yang melanjutkan karya kemanusiaan Suster Eustochia, kapan dan di mana pun.
Suster Eustochia boleh mati, tetapi karya/misi/spiritualitas kemanusiaannya yang menghadirkan wajah Yesus dalam diri wajah sesama yang menderita, khususnya perempuan dan anak korban ketidakadilan tidak boleh mati.
“Saya (Suster Eustochia, Red) boleh mati, tetapi karya kemanusiaan tidak boleh mati.” Kiranya wasiat atau pesan bermakna ini selalu kita gemakan dan aktualisasikan dalam keseharian hidup kita, apa pun profesi kita.
“Saya boleh mati, tetapi karya kemanusiaan tidak boleh mati,” kata Suster Eustochia. Deus Benedicat-Tuhan memberkati. ***