“Kekuasaanlah yang dicari orang, dan setiap kelompok yang mendapatkannya akan menyalahgunakannya. Itulah kisah lama yang sama” (Lincoln Stefens, Wartawan Amerika, 1866-1936)
Oleh: P. Kons Beo, SVD
Surya kekuasaan menuju terbenam
Sebenarnya ia lagi diterjang arus waktu yang laju menderas tak terbendung. Namun, kesannya, akhir-akhir ini, Jokowi justru belum punya banyak waktu untuk berkemas.
Maksudnya, pelan-pelan, sebaiknya ia mesti ‘kepak-kepak barang’ demi tinggalkan istana. Toh, 2024 ini sudah tak lama lagi. ‘It is time to say goodbye’ Jokowi dan kabinetnya dari tampuk kekuasaan.
Ending kekuasaan setidak-tidaknya mesti dalam atmosfer sejuk. Tanpa banyak kerumitan dan kesumpekan di alam Negeri.
2024 ini adalah ‘matahari kekuasaan terbenam’ bagi Jokowi karena keharusan hukum. Tak ada jalan untuk bikin lambat. Tak ada cela untuk ‘ulur-ulur waktu’ atau memperpanjang sinar memimpin Negeri.
Namun, kelihatannya, Jokowi lagi tak tenang batin. Ini seperti satu kisah sunset kekuasaan yang sungguh bikin tak nyaman. Mudah ditebak! Ini semua gara-gara kisah sunrise berikutnya yang mesti dikaroseri. Sejadinya dan bikin pusing tujuh keliling.
Di warung kopi dan di tempat-tempat ‘orang sederhana’ berkumpul, komen-komen sumbang lepas terdengar. “Tahu begitu, biarkan saja Partai pengusungnya dulu, iya PDIP itu yang urus saja mentari kepemimpinan berikutnya demi negeri. Dan dengan demikian Jokowi bisa tinggalkan istana dengan hati teduh. Kembali ke alam ‘pada umumnya tanpa beban dan tiada aral rintangan. “Tapi mo bilang apa sudah?”
Di jelang mentari baru kekuasaan
Gibran, sang putra kekasih, sudah sudah jadi tameng atau tepatnya ‘sandra politik’ Prabowo dan koalisi serta orang-orangnya. Ini semua demi kekuasaan dan kepentingan.
Demi sunrise-nya Gibran, Jokowi tidak bisa hanya dikagumi sebagai ‘pemain catur politik’ penuh seni lagi. Dengan semaputnya ‘MK yang tak berdaya untuk batas usia minimal calon pemimpin, itu sudah jadi sumber tuduhan sengit bahwa Jokowi telah jadi ‘pemain kasar dan tak cantik lagi.’
Kapal induk kekuasaan bagi Gibran sudah diracik. Ini semua demi entengnya Gibran arungi samudra politik Negeri. Ini belum lagi tentang pangkalan-pangkalan yang mesti dipikirkan serius.
Ya, jelaslah, umumnya pangkalan itu ada ‘pada hati, otak dan kehendak publik-rakyat.’ Dan justru inilah yang bikin Jokowi jadi tak nyaman!
Ingin dikenang sebagai ‘Bapak Infrastruktur Negeri’ dengan slogan Kerja, Kerja, Kerja, namun mesti siap menerima kenyataan tuduhan pedas sebagai ‘Bapak Politik Dinasti’ yang penuh akal bulusnya.
Benar-benar ‘alam sunset’ yang sungguh berkabut oleh kisah-kisah ‘mistik politik’ jelang next sunrise.
Inilah putraku yang kukasihi…
Akhir-akhir ini rentetan kunjungan Presiden Jokowi ke daerah telah ditafsir beda nuansa. Itu tak sekadar kunjungan seorang Bapak Bangsa dan Pemimpin Negeri ke pelosok demi menyapa rakyat.
Tak mudah lagi diterima seperti itu. “Bayang-bayang Dinasti Politik dalam dan demi Gibran tak bisa disamar dan ditutup-tutupi lagi. Tuduhan Jokowi bersafari dan blusukan demi dinasti politik telah gaung membahana.
Sunrise of power milik Jokowi sungguh menguras tenaga serta menyedot energi rohani. Apakah betul elite-elite partai koalisi, katakan semisal Golkar atau PAN, sungguh berhati tulus dan bekerja all out demi Prabowo yang didampingi Gibran? Rasanya tak semudah itu. Dan itulah yang bikin Jokowi mesti ‘putar otak’ untuk berpikir dan bertindak serius dan sejadinya. Ini semua “demi inilah putraku yang kukasihi berpihaklah padanya!” Namun?
Majunya Gibran pun tak serta merta bikin mayoritas kalangan muda segera ‘besar hati dan besar kepala’ bahwa saatnya mereka bersuara dan harus ‘punya nama.’
Sekian mudahnya Gibran melejit lewati beberapa anak tangga politik, justru inilah yang membawa duka nestapa dan amarah pada kalangan muda. Mengapa?
‘Wakili generasi muda?’
Mendukung Gibran dan Pro padanya adalah tanda nyata degradasi kualitas akal sehat terhadap hukum yang seharusnya mesti ditegakkan!
Jika harus berbangga karena ‘Gibran bisa maju,’ justru sebenarnya inilah yang jadi ‘antitesis’ perjuangan kalangan kaum muda demi demokrasi yang seharusnya berwibawa.
Pak Jokowi sungguh tak nyaman untuk sebuah ending kekuasaan yang seharusnya ‘soft landing.’
Psikologi ‘bapa Jokowi sayang anak dan kasih ibu Iriana sepanjang jalan’ demi Gibran tentu tak mudah dipinggirkan begitu saja.
Demi anak, segala yang perlu mesti difasilitasi sebisanya. Dan itu dimungkinkan selebar-lebarnya ketika Jokowi masih berkuasa dan sang paman saat itu masih ‘memegang palu MK.’
Di balik semuanya tentang dan demi Gibran, dampak ‘mumpung-isme’ juga, katanya, dilihat dan dirasa tak samar.
Melaju enteng tanpa gemuruh politik untuk jadi walikota Solo, dan kemudian tampilnya berbagai kemajuan dan gebrakan kepemimpinan yang sekian nyata dan telak, sulit untuk tidak dikatakan bahwa semuanya tak ada pertautan dengan efek ‘Sang ayah yang lagi menjabat dan berkuasa.’
Kekuasaan ini janganlah cepat berlalu…
‘Carpe diem’- petiklah hari! Itu bisa ditangkap sebagai satu peluang atau kesempatan ‘di hari atau saat kini.’ Sebab hari-hari esok itu bakal amatlah tipis probabilitasnya.
Makanya, selagi ‘diuntungkan’ oleh kesempatan dan peluang, manfaatkanlah sebisanya, bahkan ‘seharusnya!’ Satu kesempatan emas tak bakal terulang kembali.
Dan apakah Gibran, jokowi dan Paman Usman ada di lintasan carpe diem ini? Haruskan hanya angin yang mengerti?
Di ranah politik, di kawasan keseharian, dan juga dalam area ‘institusi sakral-religius’ sekalipun, gejolak dan geliat ‘gunakan kesempatan’ sepertinya ‘dibenarkan’ selagi memungkinkan.
Tetapi, adakah agenda teramat krusial sehingga Gibran mesti ‘didorong maju’? Itu hanya Pak Jokowi dan Pak Prabowo yang tahu sebagai agenda atau kontrak politik sekarang (yang bisa saja berubah kemudian..?).
Sekadar tafsiran
Siapapun kita yang ada di luar lintasan ‘Jokowi – Gibran – Prabowo’ hanya dapat memandang dan merenung semuanya dalam tafsiran, pengandaian, analisis, simulasi serta hamburan komen-komen lepas tempias.
Dan yang dicorat-coret ini pun hanya sekadar butir-butir pasir di sepanjang pantai Negeri.
Politik itu sepertinya ‘punya dunia lepas bebas’ yang amat terganggu dengan ‘kebenaran dan kepastian.’ Politik, katanya, hanya mau tunduk berserah pada ‘keinginan dan kepentingan.’
Lihat saja, misalnya, G30S PKI atau Supersemar yang telah bertahun-tahun ‘hidup dan bergemuruh’ hanya atas satu dua tafsiran di atas berbagai tafsiran lainnya.
Kebenaran tentang itu telah dikunci mati sebagai rahasia negara. Dan yakinlah, ini juga yang bakal terjadi atas kisah atau sejarah politik nasional seputar ‘Gibran jadi Cawapres,’ yang bakal hidup dan dikenang dalam ‘tafsiran demi tafsiran….’
Akhirnya…
Bagaimanapun, di hari-hari ini, di antara titik sunset, matahari terbenam kekuasaannya, dan titik persiapan demi Sunrise-nya Gibran Rakabuming Raka, mungkinkah alam hati Pak Jokowi ‘tenang-tenang amat atau sungguh nyenyak di setiap istirahatnya?’ Entahlah…..
Sekiranya Pak Jokowi salah gunakan kekuasaannya, itulah kisah lama yang selalu terulang dari siapapun yang mengincar dan mendapatkan kekuasaan itu. Di situ, ada benarnya juga si Lincoln Stefens……
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma