Politik Adalah “Sakramen”

- Jurnalis

Rabu, 15 November 2023 - 08:39 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Periodesasi pesta demokrasi(politik) adalah momen terkristalnya seluruh harapan batin suci masyarakatakan munculnya sosok baru yang membawa jalan pembebasan yang lebih baik.

Oleh: Marianus Duman, S.Fil.M.M

Etimologis Politik dan Sakramen

Politik berasal dari bahasa Yunani “Polis”, yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi “Polites”, yang berarti warga negara, “Politeia”, semua yang berhubungan dengan negara, “Politika”, pemerintahan negara, dan “Politikos”, kewarganegaraan.

Aristoteles (384-322 M) dapat dianggap sebagai orang yang memperkenalkan kata “Politik” melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut Zoon Politikon.

Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih, sudah pasti akan melibatkan hubungan politik.

Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.

Sedangkan Sakramen berasal dari Bahasa Latin yaitu sacramentum yang secara langsung berarti “menjadikan suci”.

Dalam pemahaman yang lebih luas sakramen berarti suatu tindakan suci, tanda kehadiran Allah, atau tanda hadirnya keselamatan baru dalam kehidupan.

Berdasarkan pada konsep dasar dari kedua kata di atas maka “politik adalah sakramen” merupakan suatu usaha atau tindakan suci warga negara dalam usaha membangun kebaikan bersama (bonum comune) demi mencapai keselamatan baru dalam kehidupan selanjutnya.

Kalau kita menilik dari sejarah lahirnya politik di Yunani digambarkan bahwa para pemikir berkumpul bersama di Agora (pasar)untuk menyatukan ide-ide atau gagasan bagaimana cara membangun kota yang lebih baik bagi semua orang.

Agora bukan sekadar tempat pameran ikan dan barang pertanian tetapi lebih dari pada itu yakni tempat menyatukan segala gagasan luhur guna memperbaiki hidup dengan melakukan tindakan nyata demi membawa perubahan baru yang lebih baik.

Sokrates, Plato dan Aristoteles menjadikan Agora sebagai tempat pusat intelektual, seni dan politik yang bermartabat. Hasilnya sangat nyata yaitu dibangunnya berbagai bangunan penting seperti Prytaneum (tempat api suci terus menyala melambangkan kehidupan masyarakat).

Berikutnya Poikile Stoa (tempat terhormat untuk menggambarkan kemenangan militer). Selanjutnya Agoraios Kolonos (tempat pusat manufaktur dan sistem air yang baik).

Pembangunan lainnya masih banyak dan pada inti pokoknya Agora menjadi tempat lahirnya para pemimpin demokrasi yang bermartabat dan nyata bertindak demi kebaikan bersama bukan kelompok, golongan atau diri sendiri.

Seolah melengkapi substansi dasar dari Agora itu sendiri, dalam sejarah yang berbeda muncul seorang tokoh bernama Paulus datang dan menyatukan pikiran di Agora dengan duduk bersama para kaum Stoa.

Bersama kaum Stoa Paulus menyempurnakan pokok-pokok pikiran masyarakat Agora dengan berbicara dari sisi jaminan eskatologis manusia berdasarkan kualitas kehidupan dirinya selama hidup.

Paulus menyatakan jangan hanya banyak bicara tentang gagasan, tetapi harus disempurnakan dalam tindakan nyata agar memenuhi hukum salus animarum (keselamatan jiwa-jiwa) banyak orang.

Dari secarik makna etimologis dan sejarah singkat lahirnya politik di atas, maka kita dapat memahami bahwa politik itu secara substansial berbicara tentang niat suci dari hati seseorang untuk mengubah kondisi yang buruk menjadi lebih baik demi keselamatan jiwa banyak orang. Bukan seni retoris yang dibanjiri dengan janji-janji manis dan tipu daya atau yang disebut seduksi.

Refleksinya adalah, apakah pesta demokrasi kita masih berdasarkan substansi dari politik yang lahir di Agora?

Realitas Politik di Indonesia

Jika kita melihat realitas politik yang ada di Indonesia sepertinya, substansi suci dari politik itu sudah tidak ada. Bahkan ada yang belum paham tentang kesucian politik itu sendiri tetapi berani berpolitik karena dipengaruhi nafsu buta dan intrik kotor.

Dari situlah lahirnya para agogos dan agitator. Agogos adalah pemimpin yang menyesatkan demi meraih kepentingan pribadinya.

Baca Juga :  P o k i r

Sementara agitator adalah penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat, padahal semua itu dia lakukan hanya demi memenuhi kepentingannya sendiri.

Mekanisme para agogos dan agitator berupa kambing hitam, ad hominem dan skematisasi. Banyak agogos dan agitator yang membuat politik menjadi kotor dengan melakukan tindakan-tindakan tercela, seperti kebohongan, korupsi, black campaign, melakukan politik uang, dan lain sebagainya.

Para agogos dan agitator bukannya memberikan citra yang baik bagi politik, tetapi tindakannya malah melecehkan politik itu sendiri yang menimbulkan stigma negatif dari masyarakat terhadap politik.

Maraknya para agogos dan agitator melakukan praktek cela dan cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih ataupun mempertahankan kekuasaan membuat banyak masyarakat menganggap politik itu kotor, rusak, dan menjijikkan.

Perilaku yang ditampilkan (oknum) para agogos dan agitator tidak mencerminkan politik ideal, malah menodai kemuliaan politik dengan tindakan falsification, concelament dan equivocation.

Praktek-praktek jahat seperti yang dijabarkan di atas sudah menjadi hal lumrah di Indonesia terutama dalam masa pesta demokrasi entah pilpres, pilgub, pilbup bahkan lebih seru dalam pemilihan kepada desa yang ada di kampung-kampung.

Keunggulan dan substansi kesucian demokrasi tidak cukup diambil formulanya saja berupa pilpres, pilgub, pilbup, pileg dan pildes. Elit politiknya harus memiliki standar moral tinggi dan berjiwa demokrat yang senantiasa membela hak-hak sipil.

Fakta menunjukkan bahwa pesta demokrasi di Indonesia lebih banyak buruknya seperti emosional, cuci otak, caci maki, tebar hoaks dengan melibatkan frasa-frasa keagamaan sehingga menimbulkan paradoksal.

Masyarakat memilih terkadang hanya karena dihasut semata tanpa mengetahui konsekwensi jangka panjang. Hal ini berlawanan dengan konsep Plato tentang philosopher King bahwa pemerintahan itu meski dipegang dan dikendalikan oleh orang-orang bijak dan berpengetahuan luas.

Lalu, dengan kondisi atau realitas yang terjadi, apakah kita tidak boleh berpolitik? Apakah politik itu memang sejijik itu? Apakah kita tidak usah melibatkan diri dalam politik? Jawabannya, tidak!

Pentingnya Politik

Bagi sebuah bangsa dan negara politik sangat penting. Eksistensi politik dinilai penting karena hampir seluruh aspek kehidupan manusia diatur berdasarkan keputusan politik, seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.

Maka masyarakat harus mengetahui dan mampu berpolitik. Dalam negara demokrasi masyarakat adalah pemimpin tertinggi yang memiliki kewenangan untuk menentukan strategis dalam arah perkembangan.

Apabila masyarakat tidak memahami betapa pentingnya politik maka dampak buruknya dapat menimbulkan penyimpangan ataupun penyalahgunaan kekuasaan. Masyarakat tidak boleh diam dan seolah-olah “buta” terhadap politik.

Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak telantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri.” – Bertolt Brecht.

Memahami dan ikut campur dalam politik dengan baik dan benar artinya telah menjadikan diri sebagai pengawas. Kita wajib menjadikan diri sebagai pribadi yang selalu mengedepankan kebenaran, keadilan dan kejujuran dalam berpolitik.

Keterlibatan masyarakat dalam keputusan politik sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan penyimpangan kekuasaan, sehingga perlu adanya peran dari elite politik, partai politik, dan juga pemerintah untuk memberantas buta politik supaya masyarakat turut mengawal proses demokrasi ke arah yang maju dan ikut andil untuk meraih tujuan politik yang suci. Politik merupakan hal yang penting, luhur dan mulia, maka sudah seharusnya dikembalikan pada fitrahnya yang suci.

Baca Juga :  Pentingnya Pelatihan Bagi Kader Kesehatan Dalam Penanganan Korban Henti Jantung

Politik Mengutamakan Memoria bukan Amnesia

Memoria merupakan ingatan akan hal yang suci dan dengan sendirinya bernafas kekuatan untuk selalu mengaplikasikannya.

Memoria lebih pada ingatan akan perintah suci dari Sang Pencipta untuk selalu bertindak sesuai dengan perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Mengingat dan melakukan inti memoria adalah menghadirkan Sang Pencipta lebih dekat pada pelaku dan sesamanya dalam hidup sehari-hari.

Oleh Imanuel Kant diistilahkan Imperatif Moral. Imperatif Moral adalah dorongan dari dalam budi yang luhur untuk selalu berbuat yang baik atau mulia. Dengan demikian memoria itu adalah Ingatan penuh sadar dan berkekuatan tinggi untuk berbuat baik demi mewujudkan kebebasan murni bukan pembelengguan.

Dari setiap pesta demokrasi, realitas politik di Indonesia lebih banyak amnesia dari pada memoria. Dalam sejarah bangsa ini banyak fakta yang menunjukkan bahwa para agogos dan agitatorbanyak mengidap amnesia.

Keakutan itu semakin tinggi mana kala mereka telah menjadi pejabat tinggi atau terkena kasus hukum. Pernyataan yang diucapkan dikemudian hari adalah “tidak ingat”, “sudah lupa”, “kurang memperhatikan”, “kalau tidak salah”, “mungkin”, “siapa tahu”, dan lain sebagainya.

Amnesia ini mengakibatkan proses pertumbuhan berbangsa dan bernegara menjadi cacat. Pertumbuhannya tidak sempurna karena memoria tidak lagi diutamakan. Amnesia menjadi racun yang memusnahkan jiwa kesucian politik menjadi ternoda.

Benarlah yang dikatakan para pendahulu yang mengatakan “siapa lupa akan yang indah, dia akan menjadi jahat. Siapa lupa akan yang buruk, dia akan menjadi dungu. Kealpaan menggiring ke pembuangan. Ingatan mempercepat datangnya keselamatan”.

Politik adalah “sakramen”

Sadar akan kesucian politik adalah suatu kewajiban dan harus dipegang teguh. Kesucian itu merupakan suatu kondisi murni yang tidak tergugah oleh rayuan apa pun selain dari pada semangat membara untuk membawa pembebasan dari praktek “percabulan” terhadap kesucian politik itu sendiri.

Berpolitiklah dengan moral dan gunakan pengetahuan sebagai penerang dalam mencapai tujuan yang baik.Jangan nodai politik dengan kesewenang-wenangan dan ambisi bodoh yang merugikan.

Pada prinsipnya, politik merupakan seni me-manage (the art of managing), seni mengurus atau merawat negara dan pemerintahan dalam kaitannya dengan tanggungjawab untuk melayani rakyat.

Di sini politik menyiratkan kebijakan terorganisasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup bersama, yakni bonum commune (kebaikan bersama) yang adil dan merata.

Ini semua menunjukkan politik mestinya dijunjung tinggi sedemikian rupa sehingga menampakkan apa yang mau dicapai dengannya, sekaligus tampak tolok ukur untuk menilai capaian politik.

Begitu pentingnya fungsi dan peran politikdalam hidup berbangsa dan bernegara, sampai-sampai siapa pun yang menghendaki keselamatan maka berpolitik merupakan keniscayaan.

Periodesasi pesta demokrasi (politik) adalah momen terkristalnya seluruh harapan batin suci masyarakat akan munculnya sosok baru yang membawa jalan pembebasan yang lebih baik. Di sinilah politik itu menyatakan dirinya sebagai tanda suci dan sarana penyelamatan bagi semuanya.

Terlibat dalam politik merupakan rahmat istimewa karena kita telah masuk dalam jalan menuju pembebasan dari seluruh keburukan.

Kita menjadi pembawa terang dan pencerahan dalam kondisi yang penuh dengan kegelapan dan ketamakan yang menjadi akar keburukan itu sendiri.

Menjadi politikus dalam pesta demokrasi lebih bersifat profetis atau kenabian. Dimana dia menjadi nabi yang bertugas untuk membawa keselamatan baru bagi semua makhluk.

Membawa kehidupan baru bagi insan yang hampir mati. Membawa pembebasan bagi yang tertawan. Membawa terang bagi mereka yang berada dalam gelap dan sebagainya.

Nilai-nilai itulah yang disebut sakramen dalam berpolitik. Jadi pada dasarnya politik itu suci (sakramen). Maka, jangan menghilangkan kesucian politik dengan melakukan praktek “percabulan” yang telah dipraktekkan selama ini.*

Penulis: Dosen Aktif Kampus Politeknik eLBajo Commodus, Manggarai Barat, NTT

Berita Terkait

Lima Upaya Mengatur Pertumbuhan Penduduk di Manggarai Barat
BPBD Sikka Distribusi Air Bersih Bagi Ibu Hamil dan Warga Terdampak
Hari Kedua di Ende, BPOLBF Audiens dengan Dinas Pariwisata dan Pelaku Ekraf
Ada Kasus Gigitan HPR, Stok VAR di Dinkes Ende Kosong
Kebebasan Berekspresi di Ujung Tanduk
Pilkada Mangarai Timur, KPU Akan Gelar Dua Kali Debat Paslon
Senator AWK Fasilitasi Buka Stand Penjualan Produk UMKM NTT di Loby DPD RI
BPOLBF Audiensi dengan Pastor di Ende untuk Program Pengembangan Pariwisata Religi
Berita ini 36 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 10 Oktober 2024 - 21:10 WITA

Lima Upaya Mengatur Pertumbuhan Penduduk di Manggarai Barat

Kamis, 10 Oktober 2024 - 21:08 WITA

BPBD Sikka Distribusi Air Bersih Bagi Ibu Hamil dan Warga Terdampak

Kamis, 10 Oktober 2024 - 18:00 WITA

Hari Kedua di Ende, BPOLBF Audiens dengan Dinas Pariwisata dan Pelaku Ekraf

Kamis, 10 Oktober 2024 - 13:43 WITA

Ada Kasus Gigitan HPR, Stok VAR di Dinkes Ende Kosong

Rabu, 9 Oktober 2024 - 21:12 WITA

Kebebasan Berekspresi di Ujung Tanduk

Berita Terbaru

Kepala Dinas Pengendalian Penduduk  dan Keluarga Berencana Mabar NTT, Rafael Guntur.

Nusa Bunga

Lima Upaya Mengatur Pertumbuhan Penduduk di Manggarai Barat

Kamis, 10 Okt 2024 - 21:10 WITA

Nusa Bunga

Ada Kasus Gigitan HPR, Stok VAR di Dinkes Ende Kosong

Kamis, 10 Okt 2024 - 13:43 WITA

Marianus Jefrino

Opini

Kebebasan Berekspresi di Ujung Tanduk

Rabu, 9 Okt 2024 - 21:12 WITA