LARANTUKA, FLORESPOS.net-Nara Teater, sebuah kelompok seni pertunjukan yang berbasis di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), tidak henti berkreasi dan melahir produk seni peran atau pertunjukan yang membumi.
Kali ini, selama tahun 2025, kelompok seni pertunjukan yang selalu mengangkat tradisi, budaya, adat istiadat dan persoalan sosial ekonomi masyarakat terutama di Kabupaten Flores Timur ini, akan mementaskan teater dengan judul “Ibu Tanah” di Larantuka daratan, Solor, Adonara, dan Pulau Lembata, Kabupaten Lembata.
“Nara Teater akan mementaskan teater dengan judul ‘Ibu Tanah’ di tahun 2025. Karya ini rencananya akan dipentaskan di Flores Timur daratan, Solor, Adonara dan Lembata,” kata Sutradara Nara Teater dan Penulis Naskah “Ibu Tanah”, Silvester Petara Hurit kepada Florespos.net, Senin (13/1/2025).
Silvester Petara Hurit menjelaskan tentang “Ibu Tanah” yang akan dipentaskan selama tahun 2025 di Larantuka daratan, Pulau Solor, Pulau Adonara dan Pulau Lembata tersebut.
Menurut Silvester Hurint, Pentas “Ibu Tanah”, lahir dari pembacaan pengalaman traumatik sejarah yakni konflik panjang perang saudara akibat adu-domba bangsa kolonial Eropa terutama Belanda. Ingatan kelam akan konflik dan luka kolektif masih terasa hingga hari ini.
Kerugian yang paling besar sebenarnya adalah mengendurnya budaya saling topang dan saling rawat dalam produksi dan distribusi kebutuhan hidup. Masyarakat pesisir dan gunung di masa lalu membangun persaudaraan yang kental selama berabad-abad dalam ketergantungan produktif saling menopang kebutuhan hidup.
Akar konflik sebenarnya adalah konstruksi narasi kolonial lewat mitos Paji-Demon yang sesungguhnya adalah pemelintiran dari mitologi tua Lamaholot.
Pentas “Ibu Tanah” adalah konstruksi teks perlawanan sekaligus pembongkaran terhadap konstruksi narasi kolonial lewat mitos Paji-Demon, katanya.
Bahwa secara mitologi maupun kosmologi, kata Silvester Hurint, Ibu Tanah (Ina Tana Ekan) adalah Ibu Agung/IbuAsal/Ibu Kosmik yang merangkul dan mempersatukan. Kekuatan maskulintas adalah kekuatan kreatif (dinamis) sedangkan feminitas yang terepresentasi dalam Ibu Tanah adalah kekuatan pemersatu yang merangkul dan menentramkan.
Tanah idealnya bukan jadi pemicu konflik atau perselisihan melainkan jadi pemersatu. Ini mengingat sifat Ibu Tanah yang berbagi (distributif). Memberi dirinya bagi kehidupan semua mahkluk.
“Pentas ‘Ibu Tanah’ berisi sehimpun pengalaman aktor belajar bersama petani ladang, pelaut, tukang ojek, pedagang, pelaku ritual, penenun, pengrajin bambu, maestro sastra lisan terutama pencerapan pengalaman akan kemurahan Ibu Tanah. Pengalaman pertemuan tersebut dapat berupa kisah, nyanyian, mantra, gerak, produk kerajinan dan sebagainya,” kata Silvester Hurint.
“Pengalaman tersebut dibagi bersama dalam proses latihan di ladang, di pantai, di bukit sebagai jalan penyatuan dengan irama kehidupan semesta (Ibu Tanah). Hasil akhir dari proses penemuan teks bersama ini dibawa dipentaskan di Larantuka daratan, Adonara, Solor dan Lembata,” katanya lagi.
Kata Silvester Hurint, “Ibu Tanah” dihadirkan sebagai kontrateks Paji-Demon. Pembongkaran narasi konstruksi colonial sekaligus rekonstruksi sejarah dan cultural melalui teater.
Silvester Hurint bilang, karya teater “Ibu Tanah” digagas dengan tujuan, membongkar narasi kolonial pemecah-belah, sebagai sarana edukasi dan pencerdasan masyarakat, media kohesi sosial, menciptakan budaya saling topang dan mendekatkan masyarakat dengan tanahnya.
Menghadirkan Tubuh dalam Ruang
Sementara Jhon Dasilva, salah satu aktor senior Nara Teater mengatakan, selama ini Nara Teater konsen melakukan penggalian biografi dan jati diri kultural dengan menjadikan khazanah, mitologi, mantra/sastra tutur, ritus, nyanyian, gerak/tarian sebagai bahan untuk merancang-bangun pertunjukan.
Proses kreatif Nara Teater adalah upaya menghadirkan tubuh (diri) dalam ruang sebagai sebuah pengalaman penemuan/pembacaan kembali diri dengan segala lapis-lapis pengalaman kedirian/ketubuhan yang dimiliki dalam konteks dan pergerakan waktu yang dinamis.
Teater hadir sedekat-dekatnya dengan persoalan hidup masyarakatnya. Terus bicara (:hidup). Berkontribusi kepada publiknya dengan mengelola apa yang ada dan mengoptimalkan apa yang dipunyai, kata John Dasilva.
Senada juga disampaikan Rin Wali, Ketua Nara Teater. Ia mengatakan, perjalanan kekaryaan Nara Teater yang sudah cukup panjang menjelaskan visi dan komitmen bersama untuk belajar dan berbagi melalui teater.
“Kami berkarya dan tumbuh dalam keterbatasan. Berproses dengan sabar selama bertahun-tahun sebelum akhirnya mendapat apresiasi dan dukungan termasuk pendanaan dari Indonesiana dalam karya ini”. *
Penulis : Wentho Eliando
Editor : Wall Abulat