(Sebuah catatan singkat atas Homili Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD saat Misa Pontifikal di Gereja Katedral Kristus Raja Ende)
Oleh: Anselmus DW Atasoge
DENGAN penuh saksama, hari ini, Jumat (23/08/2024) di Gereja Katedral Kristus Raja Ende, saya mendengarkan kotbah Mgr. Paulus Budi Kleden, Uskup Keuskupan Agung Ende.
Saya mencatat tiga point penting yang juga menjadi tekanan utama dalam kotbahnya pada Misa Pontifikalnya ini.
Pertama, kita perlu mendalami spritualitas inkarnatif dengan cara merangkul mereka yang terluka dan berjalan bersama Tuhan dan sesama dalam kasih untuk berpartisipasi dalam proses penyembuhan yang terluka.
Kedua, kita yang berjalan bersama itu perlu menguatkan identitas kita: Kita yang mengasihi sesama dengan menciptakan kondisi bagi mereka untuk berkembang dan menjadi diri sendiri.
Ketiga, kita yang berjalan bersama dengan identitas yang kuat adalah kita yang sanggup mengurai egoisme kita dengan membangun solidaritas yang didasari oleh kerelaan kita untuk berkorban, rela melepaskan apa yang terbaik pada diri kita untuk dibaktikan kepada yang lain, terutama bagi mereka yang sedang terluka.
Menurut Mgr. Paulus Budi Kleden, tiga point penting ini merupakan jalan untuk memelihara kasih persaudaraan.
Bagi saya, gagasan Mgr. Budi amat kuat dipengaruhi oleh teologi pastoral dan spiritualitas Paus Fransiskus.
Ketiga point penting yang disampaikan Mgr. Budi tersebar hampir dalam seluruh dokumen (ensiklik, surat apostolik, dan kotbah-kotbah) dari Paus Fransiskus.
Bagi saya, hal utama yang mendasari semuanya adalah belas kasih! Allah yang Akbar telah menyatakan belas kasihNya tanpa batas kepada dunia dan kepada kemanusiaan kita. Ia telah mengutus Sang Putera sampai rela mati di kayu salib, demi kita.
Kini saatnya, kita yang telah menerima belas kasihNya yang akbar ‘mendatangi bumi kita yang sedang terluka’, membersihkan luka-lukanya (mendengarkan kisahnya dengan hati yang terbuka, mengulurkan tangan untuk menjamahnya), mengolesnya dengan obatan-obatan kehidupan (menciptakan dan memberikan kesempatan untuk berkembang melalui pendampingan dan pendidikan yang berkualitas) dan menggapainya dengan balutan kain yang menghangatkan (menggenggam tangan mereka, tak membiarkan mereka sembuh sendirian sampai waktu yang tak berkesudahan).
Pada mereka kita tidak sekedar ‘menitipkan’ solidaritas yang semu, melainkan solidaritas yang mengandung dua dimensi yakni sebagai sebuah prinsip sosial dan kebajikan moral.
Ya….Solidaritas secara khusus menonjolkan hakikat sosial yang instrinsik dari pribadi manusia, kesetaraan semua orang dalam martabat dan hak-hak serta berjalan bersama dengan setiap pribadi dan semua orang dari segala suku bangsa menuju kesatuan yang semakin kokoh.
Dan, solidaritas semacam ini merupakan sebuah kebajikan moral yang autentik, bukan suatu “perasaan belas kasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal” karena nasib buruk sekian banyak orang, dekat maupun jauh.
Lebih dari itu, ia merupakan sebuah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, (kesejahteraan semua orang dan setiap orang perorangan) karena KITA SEMUA SUNGGUH BERTANGGUNG JAWAB ATAS SEMUA ORANG.
Kata Mgr. Budi, inilah ikatan tanggung jawab kita kepada dunia dan kepada yang lain yang sedang terluka, yang diperlakukan tidak adil dan yang ditindas.
Pada titik inilah, kita menghadirkan identitas diri kita sebagai anak-anak Allah dan sebagai pribadi-pribadi inkarnatif yang rela bersedia bersama Tuhan untuk MENYEMBUHKAN KEMANUSIAAN DUNIA yang sedang terluka.
Ende, 23 Agustus 2024
Murid Mgr. Budi Yang Selalu Berjuang untuk Setia Membangun Solidaritas
Anselmus DW Atasoge
Editor : Wentho Eliando