LABUAN BAJO, FLORESPOS.net-Ribuan pemilik tanah dalam kawasan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), NTT ditengarai menjadi “korban”, khusus yang telah bersertifikat.
Tanah-tanah bersertifikat itu disinyalir sulit dipergunakan untuk kepentingan apapun, karena HPL ditengarai milik negara. Namun di sisi lain para pemilik lahan dalam HPL tetap membayar pajak kepada negara.
Sekretaris Umum (Sekum) Aliansi Masyarakat Mburak Bersatu, Ahmad Suriyadi, mengatakan, pemilik tanah dalam kawasan HPL sekitar 2000 sampai 3000 orang. Luas HPL ribuan hektare. Kawasan HPL dan sekitarnya adalah eks Kedaluan Mburak zaman dulu.
Ia mengungkapkan itu menanggapi Florespos.net di Nanga Na’e, Desa Macang Tanggar baru-baru ini terkait HPL dan perjuangan warga setempat melalu Aliansi Masyarakat Mburak Bersatu agar tanah mereka keluar dari stambuk HPL.
Perjuangan mereka tak hanya di Labuan Bajo, tetapi hingga menemui Pemerintah Pusat (Pempus) melalu kementetian/lembaga terkait belum lama berselang di Jakarta.
Kata Suriyadi, kawasan HPL tersebar pada 4 desa di selatan Kecamatan Komodo. Keempat desa yakni Tiwu Nampar, Golo Pongkor, Warloka, dan Macang Tanggar. Di Desa Macang Tanggar ada juga lokasi Transmigrasi Lokal (Translok) Nggorang.
Diungkapkan Suriyadi, dia dan kawan-kawan ke Jakarta kurang lebih 13 orang, mewakili aliansi. Sebelum ke Jakarta, mereka bertemu Bupati Mabar Edistasius Endi di Labuan Bajo untuk minta restu beliau sebagai orang tua masyarakat Mabar, termasuk mereka.
Di Pempus/Jakarta mereka mendatangi sejumlah kementerian terkait di antaranya Kemendes (Kementerian Desa), tidak terkecuali Fraksi PKB-DPR-RI.
Menurut Suriyadi, melalu aliansi pihak kementrian menitip pesan untuk Pemerintah Daerah Mabar atau Pemda NTT supaya menyurati Pempus. Inti surat supaya tanah masyarakat, tanah ulayat, fasilitas umum dalam HPL keluar dari HPL.
“Dan sebaikny surat tersebut dibawah langsung Bapak Bupati Mabar atau Pa Gubernur NTT,” kata Suryadi yang juga Sekretaris Desa Macang Tanggar itu.
Lanjut Suriyadi, pihak aliansi berencana bertemu Bupati Mabar untuk “wali” (lapor) kepada beliau bahwa mereka sudah pulang dari Jakarta, sekaligus menyampaikan hasil kunjungan itu.
“Budaya kami begitu. Kami tetap bersama pemerintah. Perjuangan kami, bahwa tanah-tanah kami dalam HPL harus dikembalikan kepada kami, karena itu milik kami, milik leluhur kami,” ujar Suriyadi.
Masih Suriyadi, HPL sudah ada sejak 1997. Namun baru diketahui masyarakat sekitar 2022. Banyak tanah warga masyarakat dalam kawasan HPL sejauh ini sudah sertifikat, ada yang diurus pribadi, ada yang ditangan oleh pemerintah dalam bentuk Prona. Sertifikat- sertifikbisa tanah itu juga ada yang Hak Guna Bangunan (HGB) dan lain-lain.
Tidak sedikit warga pemilik lahan dalam kawasan HPL juga sejauh ini sudah ajukan pengsertifikatan ke lembaga atau instansi pemerintah yang menangani sertifikat tanah. Namun belum dikabulkan atas alasan HPL.
Kemudian dalam kawasan HPL itu juga, ada yang tanah ulayat, dan fasilitas umum, antara lain tanah wakaf.
Namun sepertinya sertifikat- sertifikat tanah milik warga dalam kawasan HPL tersebut sekitar 2 tahun terakhir ini sulit digunakan untuk kepentingan apapun. Hanya pajak atas tanah-tanah itu masih tetap dibayar pemilik lahan sampai Tahun 2023 ini.
“Entah masyarakat mau bayar pajaknya, tidak tahu. Tetapi begitu aturannya,” kata Suriyadi yang juga Sekretaris Desa Macang Tanggar itu.
Pada kesempatan sama, Kepala Desa Macang Tanggar, Jamaludin, menambahkan, HPL baru terkuak sekitar 2022 sampai sekarang. Sebelumnya warga setempat tidak tahu, meski HPL sudah ada sejak 1997.
“Saya ini generasi ke empat Mburak. Umur saya sekarang empat puluh tujuh tahun. Tahun kemarin (2022) itu baru tahu ada HPL di tanah kami di Mburak ini,” kata Kades Jamaludin.
Secara terpisah Wakil Bupati Mabar, Yulianus Weng, mengatakan penyelesaian soal HPL bagai menguraikan benang kusut, rumit. Salah satunya terkait pajak. Tanah masuk HPL tapi pemilik lahan tetap bayar pajak. Kasihan masyarakat.
Pemkab Mabar selama ini terus berjuang agar tanah masyarakat, tanah ulayat dan fasilitas umum yang berada dalam HPL dikeluarkan dari HPL oleh Pempus.
“Beberapa waktu yang lalu saya sendiri mempresentasi HPL di hadapan Pempus di Jakarta. Tapi keputusan final tetap di Pempus, karena itu kewenangan mereka,” ujar Wabup Weng.
Dilansir media ini sebelumnya bahwa sertifikat tanah dalam HPL tidak bisa digunakan untuk keperluan lain. *
Penulis: Andre Durung I Editor: Wentho Eliando