BAJAWA, FLORESPOS.net-Pimpinan Redaksi Bisnis Indonesia yang juga Direktur Pemberitaan dan Produksi Bisnis Indonesia Group, Maria Yuliana Benyamin dalam kegiatan Coffee Talk “Bincang Jurnalistik”, Sabtu (29/4/2023) mengatakan bahwa media sosial bukan merupakan media massa.
Kegiatan Coffee Talk itu dipandu Wim de Rozari dari Florespos.net. Hadir dari unsur pelajar, pegiat Literasi dan awak media.
Yuliana Benyamin mengatakan, sesungguhnya berdasarkan Undang-Undang Pers Media Sosial tidak bisa dikategorikan sebagai Media Masa.
Dia menjelaskan, data Dewan Pers tahun 2017, memperkirakan jumlah media saat itu sebanyak 47.000 namun didominasi oleh media online sebanyak 43.000.
Seiring waktu, di mana terakhir berhadapan dengan pandemi Covid-19, jumlah media online semakin banyak namun jumlah media cetak makin menurun.
Beberapa media besar seperti Sinar Harapan, Suara Pembaharuan dan yang terakhir Koran Sindo, akhirnya menutup operasional untuk koran dan beralih sepenuhnya ke online.
Sejumlah grup media menjadi konglomerasi besar bisnis media tetap bertahan. Saat ini media tetap menjadi kekuatan besar yang akan terus bertahan.
Dirinya mengambil S2 dengan tesis yang diambilnya yaitu Model Bisnis Media yang mana telah ada model bisnis media baru yang lebih berkesinambungan.
Dirinya masih sangat yakin dengan industri Media akan tetap berkesinambungan dan bertahan menghadapi tantangan disrupsi digital .
Saat ini menurutnya juga rata-rata di Jakarta misalnya pemain media tidak lagi berada di satu platform namun lebih dari satu termasuk sampai ke media sosial.
Bisnis Indonesia yang sebelumnya juga memiliki koran dan pada tahun 2006 mulai mengembangkan onlinenya dan saat ini memiliki berbagai macam platform.
Kebutuhan akan informasi tidak akan pernah mati namun yang berubah adalah cara untuk kemudian respon perubahan yang terjadi pada konsumennya.
Disadari masyarakat termasuk anak muda enggan untuk membaca Koran namun lebih nyaman mendengar informasi melalui audio visual seperti YouTube, video atau lain sebagainya .
Saat ini banyak perusahaan media mencari model bisnis baru untuk tetap relevan dengan konsumennya.
Namun demikian ada pula sejumlah media bermain di media sosial dengan gaya atau cara menyampaikan informasi olahan medianya dimasukkan di dalam media sosial seperti membagi berita lewat link berita maupun video yang mana ketika di klik kembali kepada media asalnya.
Perbedaan antara media mainstream dan media sosial adalah pada media mainstream memiliki apa yang disebut dengan kode etik jurnalistik yang diliput oleh seorang jurnalis yang mana melakukan kegiatan sesuai dengan kaidah jurnalistik sedangkan di media mosial tidak memiliki itu.
Media Sosial hanya bisa dijerat dengan Undang-Undang ITE sedangkan Jurnalis dengan Undang-Undang Pers.
Pantauan Florespos.net sejumlah peserta mengaspresiasi kegiatan tersebut. Lusia Meme, SMAS Katolik Regina Pacis mengungkapkan rasa bahagianya karena mengikuti kegiatan Coffee Talk tentang Bincang Jurnalistik itu.
Dikatakan, inisiasi Yayasan AW sungguh bermanfaat bagi dirinya dan anak-anaknya karena mendapat banyak informasi dan pengetahuan baru tentang media massa dari tokoh yang memahami bidang kerjanya sebagai wartawan media Nasional dan mendapat jabatan selaku Pimpinan Redaksi.
Melalui kegiatan ini, menginspirasi dirinya dan juga anak didiknya untuk terus belajar berliterasi termasuk memberikan semangat bagi yang bercita untuk menjadi seorang jurnalis.
Tion Rowa, guru pada SMAS Katolik Fransiskus Xaverius Boawae mengatakan dirinya bersama siswa dan rekan gurunya sangat berbahagia mengikuti kegiatan tersebut.
Kegiatan Bincang Jurnalistik itu sangat bagus, karena dapat memberikan pengetahuan lebih terkait jurnalistik dan memberikan motivasi serta membangun minat siswa/siswi untuk turut terlibat langsung di dalam dunia jurnalistik.
“Kegiatan seperti ini diharapkan dapat dilaksanakan secara rutin. Yayasan AW telah memulai dengan hal yang baik. Mudah-mudahan tidak hanya di Kabupaten Ngada saja,” harapnya.*
Penulis: Wim de Rozari/Editor: Anton Harus