Oleh: Isidorus Lilijawa

HARI Minggu, 26 Maret 2023 kita mendapatkan kabar buruk itu. FIFA membatalkan pengundian atau drawing Piala Dunia U20 2023 yang rencananya bakal digelar pada 31 Maret mendatang di Bali.

Kabar pembatalan drawing Piala Dunia U20 2023 itu disampaikan oleh anggota Exco PSSI Arya Sinulingga dalam konferensi pers yang digelar pada Minggu (26/3/2023).

Sekalipun surat resmi dari FIFA belum diterima, tetapi pembatalan itu jelas. Salah satu alasannya adalah adanya penolakan dari Gubernur Bali yang menolak Tim Israel sehingga dengan sendirinya drawing tidak bisa dilaksanakan tanpa seluruh peserta.

Kemungkinan Buruk

Dengan adanya pembatalan ini, maka lahirlah berbagai kemungkinan. Pertama, mungkin saja FIFA sedang memikirkan bahwa Indonesia tidak layak menjadi tuan rumah Piala Dunia U20. Salah satu ujian kelayakan itu adalah harus menghormati dan be friendly terhadap setiap peserta Piala Dunia U20, termasuk Israel.

Nah, uji kelayakan ini terjawab bahwa Indonesia memang sedang tidak ramah terhadap Israel. Buktinya, ada penolakan dari beberapa elemen organisasi massa (Ormas) di tanah air. Demikian juga penolakan dari beberapa kepala daerah bahkan partai politik.

Kedua, dengan membatalkan jadwal drawing dan belum memastikan kapan drawing itu akan dilaksanakan melahirkan kemungkinan lain bahwa FIFA sedang memikirkan calon tuan rumah lain untuk Piala Dunia U20. Ada beberapa negara sudah mengajukkan diri menjadi tuan rumah seperti Qatar dan Argentina.

Bila dengan syarat uji kelayakan harus bisa menerima dan menghormati para peserta Piala Dunia U20 termasuk Israel, maka peluang Indonesia dalam hal ini semakin kecil. Itu berarti bahwa tuan rumah Piala Dunia U20 bisa saja beralih ke negara lain yang lebih layak dan siap.

Ketiga, adanya pembatalan acara drawing Piala Dunia U20 ini menjadi semacam kemungkinan lain ‘test the water’ tentang persiapan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 tahun 2023.

Sebenarnya penolakan Israel bukan variabel tunggal alasan FIFA membatalkan drawing itu. Karena faktor penting lainnya adalah kelayakan sarana dan prasarana pertandingan serta kenyamanan dan keamanan bagi 24 negara peserta.

Kita bisa mengintrospeksi diri, apakah memang dari dua aspek ini kita sudah pantas dan layak? Apakah stadion-stadion kita sudah layak? Apakah sarana-sarana pendukung sesuai standar FIFA sudah dipersiapkan dengan baik?

Terjebak Politik

Dari berbagai referensi, alasan penolakan tim Israel sebagai peserta Piala Dunia U20 di Indonesia tidak berkaitan langsung dengan aktivitas di lapangan hijau. Malah penolakan itu sangat bersinggungan dengan kepentingan di lapangan politik.

Argumentasi yang terbangun adalah Israel menjajah Palestina, Indonesia mendukung Palestina, tak ada hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel.

Karena itu, untuk membuktikan bahwa Indonesia konsisten mendukung Palestina, maka Israel harus ditolak. Kira-kira demikian raisoning-nya. Sekalipun tidak seluruh rakyat Indonesia menolak kedatangan Israel, tetapi beberapa penolakan sudah cukup memberikan gambaran bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja untuk menyambut kedatangan Israel.

Padahal kita semua tahu bahwa dunia politik dan dunia sepak bola itu punya frekuensi dan kepentingan yang berbeda. Yang tidak boleh terjadi itu adalah politisisasi sepak bola atau menjadikan sepak bola sebagai alat politik.

Dalam kaitan dengan penolakan tim Israel bisa saja ini masuk dalam framing politisasi sepak bola. Orang mencampuradukkan urusan politik ke dalam lapangan hijau. Persoalan historis, ideologis bahkan politik antara Israel dan Palestina itu adalah ranah yang berbeda dengan sepak bola.

Persoalan politik diselesaikan secara politik. Sampai sejauh ini Palestina tidak komplain ke FIFA mengapa Israel bisa menjadi peserta Piala Dunia U20 di Indonesia. Lalu mengapa kita yang repot dan reaktif?

Sepak bola mengajarkan banyak hal kepada kita. Di sana ada ruang untuk saling mengapresiasi, membangun respek, menjaga kohesivitas sosial dan sportivitas. Di lapangan hijau rasialisme ditendang jauh-jauh. Perbedaan dirangkul.

Lapangan hijau tidak pernah monoton satu warna. Ada warna-warni persaudaraan dan persahabatan di sana. Nilai-nilai inilah yang mestinya kita rawat dan kita petik termasuk dari ajang Piala Dunia U20 di Indonesia.

Selain sportivitas, dari lapangan hijau juga mestinya para politisi kita bisa belajar soal respek, saling menghargai, disiplin, menghargai keragaman, merangkul perbedaan, saling percaya bahkan manajemen mengelola emosi penonton/suporter. Arena politik adalah ruang yang mesti dibangun dalam semangat nilai-nilai sepak bola.

Politik butuh kedisiplinan agar tidak banyak memproduksi kader yang bermasalah. Politik adalah ruang penuh warna, beragam. Jangan memaksakan yang beragam itu menjadi satu warna karena pasti timbul persoalan. Seperti di sepak bola, berbagai potensi dari berbagai bangsa, suku, agama, ras dipadukan menjadi satu tim yang kuat dan bisa memenangkan aneka turnamen.

Risiko Besar

Lantas, apa risiko yang harus kita terima jika Indonesia benar-benar tidak menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 tahun ini? Yang paling mengerikan adalah PSSI dibekukan. Jika itu terjadi maka tamatlah sepak bola Indonesia. Tidak ada lagi kompetisi Liga 1, 2 dan 3 di Indonesia, Timnas bubar, Indonesia dikucilkan dari kegiatan sepak bola internasional. Tak ada lagi AFC Cup, SEA Games, ASIAN Games, World Cup dan Olimpic Games.

Indonesia kehilangan potensi hingga 10 triliun. Yang jelas para pemain, pelatih, wasit, klub, sponsor dan masyarakat kehilangan mata pencaharian.

Nasib sepak bola Indonesia sedang dipertaruhkan saat ini. Apakah FIFA tetap memutuskan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 atau digantikan oleh negara lain? Hanya FIFA yang tahu itu.

Tetapi risiko mencampuradukkan sepak bola dan politik atau menabur rempah-rempah dan remah-remah politik dalam adonan lapangan hijau memang berat dan bisa fatal. Stop politisasi sepak bola!

Penulis adalah Penulis Buku Filsafat Bola

Silahkan dishare :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *