- Perseftim Raih Poin Penuh di Grup D, Akan Jumpa Runer Up Grup B
- Kebijakan Mutasi yang Tidak Seimbang, SDN Ongalereng Kekurangan Tenaga Guru
- Manggarai Baru Selesaikan Dua Pilar Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
- BAP Tiga Tersangka Petinggi SMKN 1 Wae Rii-Manggarai Diserahkan ke Jaksa
- Jemaah Haji Asal Manggarai Tiba di Ruteng
- Renungan Harian
- Ospek Jadi Media untuk Manguatkan Pilihan Mahasiswa Baru di Kampus STPM St. Ursula
- Kuda The Rock Juara Umum Lomba Pacuan Kuda Bupati Ngada Cup 2022
- Saat Pesta Pora dan Kemabukan Sungguh Menguasai (Luk. 12:32-48)
- Perseftim Puncaki Grup D Soeratin Cup
Dagang Politik: Antara Strategi Iklan dan Upaya Menjaring Emosi
Oleh P. Kons Beo, SVD

P. Kons Beo, SVD - tinggal di Collegio San Pietro, Roma.
“Jadi, jika
kita berbohong pada Pemerintah, itu kejahatan. Tetapi, jika Pemerintah yang
berbohong kepada kita, itu politik,” (Bill
Murray, aktor Amerika)
Iklan dan Dunia
Tawar Menawar
Dunia ini
adalah panggung bisnis mahaluas. Dalam keseharian, temu jumpa antarmanusia
tertenun oleh gelanggang pasar. Di situ tercipta strategi tawar-menawar. Dan
akhirnya tiba pada kesepakatan harga. Bermuara pada transaksi. Katanya, antara
penjual dan pembeli, sepatutnya ada rasa sama-sama puas. Tak boleh
ada tindak manipulatif yang memperdayai. Sebab bisnis tegaskan itikad penuh
kejujuran dan kesantunan. Semuanya demi merawat kepercayaan.
Baca Lainnya :
- Dagang Politik: Antara Strategi Iklan dan Upaya Menjaring Emosi0
- Firman Bawa Pulang 1 Unit Sepeda Motor Mio0
- Dewan Minta Pemerintah Awasi Kerja Guru PNS di Pedalaman Kabupaten Ende0
- Melki Laka Lena Puji Gebrakan Bupati Andreas0
- Pembangunan 195 Unit Rusun bagi Korban Banjir di Permukiman Saosina Rampung Juli 20220
Tetapi dunia
bisnis adalah alam yang mesti dipertaruhkan. Ia mesti berdampak pada profit.
Dunia bisnis harus mengalir dan bermuara pada keuntungan. Risiko negatif yang
berujung pada kerugian tentu diharamkan dan patut dihindari. Oleh
sebab itulah, strategi bisnis mesti disiasati sejadinya.
Dari sekian
banyak strategi bisnis yang dipetakan, ada pajangan iklan. Tentu
yang disasar adalah para konsumen yang mencari produk. Narasi iklan adalah
narasi bujukan atau rayuan. Ia mesti dikemas dalam kata-kata penuh daya pikat
dan sungguh “mengandung umpan”.
Bermain Cantik
pada Emosi
Tetap ada yang
khas dari satu iklan yang merupakan bagian kunci dari iklan itu sendiri. “Salah
satu elemen kunci dari sebuah iklan adalah emosi yang disampaikan dalam iklan
tersebut (Ika Wahyu Pratiwi, 2017). Sebab itu, menurut Pratiwi, iklan tak
hanya berkiprah pada perilaku kognitif saja. Iklan menerobos hingga pada proses
penanaman emosi yang berpengaruh demi sikap memilih produk tersebut.
Bila disimak
dari Antonides (1991), seperti ditandaskan Pratiwi, iklan mesti diracik sekian
demi satu akurasi stimulus di dalam satu produk tertentu. Ruang emosi
(rasa) konsumen mesti dikuasai secara tepat. Di situ mesti nyata bahwa sebuah
pilihan atau peralihan pilihan pada produk tertentu akan bermuara pada alam
konsolasi (kelegaan). Dan siapa pun konsumen tak akan pernah menyesal
telah menjatuhkan pilihan pada produk tersebut.
Demi merekayasa
alam emosi konsumen, bahasa iklan pun tentu mesti mainkan riak-riak
litania diksi komparatif. Artinya sederhana saja. Bahwa agar
tampak lebih ngetrend, up to date, berkelas, sehat, ceria,
memesona, nyaman atau lega, maka segera lepaskan saja yang lemah,
yang sama sekali tak menjanjikan serta tetap membawa masalah. Inilah yang
bisa disebut saja sebagai jebakan motif informasional.
Iklan: Problem dan
Solusi
“Hati-hati
dengan produk tertentu!” Pengalaman buruk segera dilukiskan akibat pemakaian
produk-produk tertentu itu. Emosi konsumen tercipta dalam ruang penuh
hati-hati, cemas, takut serta penuh waspada! Namun, dalam nada-nada enteng,
iklan bermanuver cantik dengan menawarkan produknya sebagai solusi.
Iklan memang
telah ciptakan konflik batin yang serius. Ketidaknyaman hati mendera. Akan
tetapi, pada saat bersamaan, ia tawarkan jalan keluarnya yang sekian
mudah. Malah tugas iklan menjadi sempurna takalah “emosi fanatisme
konsumen” telah sungguh menggumpal dan membeku akan produk yang
ditawarkan! Apalagi bila para konsumen telah “mabok pilihan” bahwa
produk itu bukanlah bertengger kelas sembarangan. Sebab, ia tunjukkan juga
bobot, gengsi, dan bahwa hanya kaum elitis yang menggunakannya.
Politik Berbau
Iklan
Dalam rana
sosial, politik yang berkiblat pada kekuasaan pasti berkarib dengan “imperium
iklan”. Politik tak imun dalam arus bisnis. Sebab, dalam politik, gairah
tawar-menawar demi kepentingan (kemenangan) tak mungkin terhindarkan. Tim-tim
pemenangan (tim sukses) mulai bertunas dan hidup. Bahasa-bahasa iklan mesti
dikemas. Arus promosi mulai digelorakan.
Tetapi,
dalam dagang politik (demi kekuasaan), bahasa-bahasa iklan
tertangkap lebih sengit, bahkan menjurus kasar dan keji. Ini
mudah dipahami sebab dagang politik telah membara demi merebut dan mengisi
peluang yang tak boleh terlewatkan. Benar, bahwa menang atau kalah itu
biasa. Namun, kesempatan untuk perang dagang politik harus
dijalankan. Jika tidak, satu kesempatan politik bisa berlalu begitu saja. Dan
mungkin saja tak akan terulang kembali!
Sebab itulah, demi
kekuasaan, strategi periklanan mulai dikibarkan. Calon penguasa yang
diusung akan segera diwartakan bak messias (juruselamat) yang dinantikan.
Di tangannya, era baru segera akan dimulai, dan bahkan dilanjutkan.
Demi meraih kemenangan, iklan mesti digemakan dengan cara terukur. Menyanjung
setinggi langit tokoh yang diusung adalah keharusan! Dan upaya membenamkan
kompetitor mesti jadi satu dua usaha maksimal.
Periklanan
politik tak segan-segan menjanjikan aura optimisme dalam diri junjungannya. Ia
bakal hadir sebagai problem solver of every crisis. Ini jelas
bertentangan dengan gejolak problem maker yang dilabelkan pada pihak
kompetitornya. Adalah hal lumrah dalam dagang politik saat divisi periklanan mesti “pasang
badan” demi menyelamatkan sang junjungan agar tak boleh “mati
langkah dan hilang muka serta redup pamor” dalam percaturan politik. Sebab
itulah, segala argumentum pembelaan mesti dipetakan.
Di sini, iklan
politik tampil tak lebih sebagai geliat rasionalisasi demi “kebenaran sang
junjungan” atau juga ajang pameran dramatisasi aib “segala kepalsuan
si kompetitor”. Pelbagai media sosial kini tampil sebagai kanal ampuh demi
periklanan itu. Optimisme dengan segala wajah dunia baru terbaca di pihak
junjungan, sementara pesimisme dengan alarm kefatalannya ada di pihak pesaing.
Diksi iklan
dagang politik mesti dikemas sekian dengan akurasi sejitu mungkin. Junjungan
harus dipoles sejadinya bak seseorang dari “kalangan para kudus beraroma
surgawi”. Sementara sang pesaing harus digoreng gosong hingga terlabel
bak Lusifer, si malaikat maut pembawa petaka dari alam neraka jahanam.
Di atas
segalanya, iya itu tadi, emosi harus dibangkitkan. Semuanya demi pro pada
sanjungan, dan kontra bagi si pesaing! Jijik, cemas, takut,
gelisah, najis, kafir, haram, geli, ataupun muak adalah deretan kata yang
berkiblat pada emosi, andaikan si pesaing yang nanti berkuasa. Sementara damai,
sukacita, makmur, sejahtera, halal, saleh, kudus, atau keadilan akan nyata bila
si junjunganlah tampil sebagai pemenang.
Dagang politik
tak sekadar sebagai daya upaya iklan demi menyanjung tinggi junjungannya. Di
upaya lainnya, ia mesti cekatan membaca peluang dari salah sikap dan salah
ucap dari sang pesaing. Sebab itulah, split of the tongue (keseleo
lidah) adalah menu empuk untuk digoreng lebih garing oleh kubu lawan. Semuanya
berujung pada penghakiman publik yang bermuara pada sikap baku: Kontra! “Tak
usah pilih dia….”
Dagang politik
yang tertampil dalam perang iklan tentu adalah kelumrahan. Sayangnya,
iklan-iklan yang ditampilkan sering memeluk kepalsuan ataupun sebaliknya
menggeser kebenaran. Tentu dengan motif kepentingan di baliknya. Sebab itulah
pula, misalnya, pembunuhan karakter (character assassination) dihalalkan, black
campaign dimuliakan, serta iklan penuh penyesatan diwajarkan. Sementera
itu, kebenaran telah diludahi dan dipaksa turun takhta.
Akhirnya
Jelang Pilpres
tahun 2024, aroma-aroma iklan telah terhembus ke sana sini. “Melilitkan
selendang iklan berbau emosi di leher. Mengibarkan suasana panas.” Tesis
psikologi sosial dan agama gariskan bahwa dominasi emosi yang menjurus ke
fanatisme sempit sebenarnya adalah gambaran dari minim, tipis, serta
dangkalnya pengetahuan dan wawasan.
Bila iklan
dagang politik secara licik hanya bertumpuh pada emosi massif sebagai domain,
maka akal sehat bisa ditorpedo untuk gagal mencermati visi dan orientasi
politik yang sehat, baik dari persona singular maupun dari partai politik
dalam konteks institusionalnya yang lebih luas.
Di hari-hari
ini, perlahan tapi pasti, riak-riak emosi mulai ditiupkan. Diksi-diksi
diferensiatif antarkontestan dibangkitkan lagi atau semakin dipertebal. Tetapi,
apakah, misalnya, kampret, cebong, dan kadrun, dengan
segala nuansanya, juga dibangkitkan atau ditebalkan lagi? Semoga akal
sehat tidak terkubur oleh kata-kata sarat emosi ini.
Indonesia masih dipenuhi oleh para simpatisan dan pemilih emosional yang pastinya berseberangan dengan pemilih rasional. Perang dagang politik, “baku sikut dalam narasi iklan” adalah kelumrahan dalam perhelatan politik. Tetapi, walau sengitnya pertarungan itu, pada muaranya kemenangan harus berpihak pada spirit of nation yang berakar hidup pada Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI (harga mati). Dan bukan yang lain!*
