MAUMERE, FLORESPOS.net-Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) dan mitra kerja utusan tiga kabupaten, yakni Sikka, Flores Timur (Flotim) dan Ende mengikuti workshop bertema “Memperkuat Pemahaman Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Bagi Lembaga Layanan, Komunitas, Paralegal, dan Akademisi di NTT.
Workshop yang berlangsung di Aula Hotel Pelita Maumere, Selasa (30/5/2023), antara lain bertujuan merumuskan strategi advokasi bersama dan implementasi UU ini dalam upaya menangani pelbahgai kasus yang memihak korban.
Nara sumber kegiatan adalah Falentinus Pogon, S.H., M.H dari PERADI Sikka dan selaku fasilitator Peneliti Candraditya RP. Hubert Thomas Hasulie, SVD. Kegiatan dibuka Ketua Perkumpulan Perempuan TRUK Suster Fransiska Imakulata, SSpS.
Hadir utusan IFTK Ledalero: Sr. Thomasin Beding, SSpS dan Hermina Wulohering; utusan Dosen Fakultas Hukum Unipa Indonesia: Michael Josvirantodan dan Kornelius Y.P. Neka;Joria Parmin dari DP2KBP3A Flotim; Benedikta B.C. da Silva dari Rumah SinggahYayasan Permata Bunda Flotim.
G.R. Sadipun; R. Martina; utusan anggota Komisi Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Keuskupan Maumere Maria Hendrika Hungan dan Yuven Wangge; Tim TRUK Oca Keytimu; Erlin Istilca; dan utusan mitra kerja lainnya di antara G.R. Sadipun; R. Martina; John Bala dari PBH Nusra; Ronald Rudiyanto dari KAI Maumere; Anggelina P; Patricia F. Bela.
RP. Ignas Ledot, SVD (JPIC Provinsi SVD Ende); Frans K (Y.Fren), Yohana H (TRUK Ende); Yulius (Peksos), Maria Hendrika Hungan (GPP Keuskupan), Yuvens Wangge (KPKC Keuskupan Maumere), Siflan Angi (Forum Petasan), Adriana Ance (tokoh perempuan), D.J. Ratni, Yani Y (kepala UPTD PPA), Agnesta Rodja (UPTD PPA), Elisabeth Bestyana (TRUK-F), Silvester P (LBK), Fr. Ando Sola (TRUK), dan utusan media Wall Abulat.
Peserta Inventarisasi Aneka Masalah
Pantauan media ini sebelum nara sumber menyampaikan materi, fasilitator RP, Hubert Thomas Hasulie, SVD membagi peserta ke dalam empat kelompok dan setiap kelompok ditugaskan untuk menemukan aneka kesulitan yang bakal dialami saat mengimplementasikan UU TPKS.
Ada pun beberapa kesulitan yang ditemukan kelompok di antaranya adanya fakta Aparat Penegak Hukum (APH) belum siap menerapkan UU ini karena belum bersinergi secara optimal, Pemda belum menjadikan isu ini menjadi isu sentral yang perlu mendapat penanganan segera; kurangnya sosialisasi kepada masyarakat umum ,Lembaga Adat, Tokoh agama; adanya biaya yang dibebankan kepada korban dalam hal ini biaya Visum Et Repertum sehingga menjadi kendala dalam penanganan kasus atau dalam proses lanjutan penanganan kasus kekerasan seksual; adanya keengganan warga untuk menjadi saksi TPKS; kesulitan saksi ahli, belum keterampilan APH untuk menangani korban disabilitas karena kendala bahasa; masyarakat masih menstigma korban/menyalahkan korban; sanksi adat yang diberikan untuk pemulihan korban tidak berpihak kepada korban, peran tokoh agama dalam komunitas masih rendah; tokoh agama kurang berempati dalam hal-hal yang berkaitan dengan kasus KS; dan peran petugas Pastoral masih rendah dalam menanangani kasus KS.
Solusi Atasi Masalah
Selain menemukan aneka masalah di atas, peserta juga menawarkan solusi di antaraya APH perlu dilibatkan dalam proses/kegiatan diskusi tentang UU TPKS; perlu peningkatan kapasitas APH dalam UU TPKS; pentingnya sosialisasi kepada masyarakat dan Lembaga adat, pentingnya penguatan kapasitas bagi fasiltator/komunitas pengada layanan di kelurahan/Desa, dan perlu disiapkan anggaran untuk pendampingan korban; pentingnya digelar workshop Lintas Sektor dengan mengundang para stake holder yang memiliki kewenangan dalam TPKS; pentingnya revitalisasi Lembaga adat agar ada unsur perempuan, dan sejumlah sosial lainnya.
UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022
Narasumber Falentinus Pogon, S.H., M.H. dalam materinya antara lain menjelaskan esensi UU TPKS dan menyebut 8 substansi UU ini.
Esensi dan 8 substansi UU yang dimaksud, yakni KUHP hanya mengenal pidana perkosaan, pelecehan seksual baik fisik maupun non fisik tidak dikenal di KUHP, dalam tindak pidana perkosaan kelemahan KUHP terletak pada sempitnya ruang lingkup pengertian tindak pidana perkosaan, mengesampingkan perkosaan yang dilakukan tanpa paksaan fisik tetapi karena perbedaan posisi tawar antara pelaku dengan korban; adanya dua saksi yang mengetahui, belum ada pengaturan khusus yang terintegrasi dengan sistem pemulihan korban, substansi belum memadai kekesan seksual, dan korban berpotensi dikriminalisasi.
Narasumber juga menyebut adanya kendala dalam pendampingan korban KS di mana kultur stigma negatif kepada korban, budaya menyalahkan korban, dan korban dianggap sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual.
Sementara kendala dari aspek struktur meliputi Aparat Penegak Hukum (APH) belum memiliki perspektuf penanganan kasus KS; APH tidak transparansi dalam proses hukum, tidak menginformasikan hak-hak korban, APH berpedoman kepada KUHAP terkait pembuktian, APH kerap melakukan konfrontir pelaku dan korban; APH membebankan pembuktian kepada korban, dan pelayanan dibebankan kepada korban.
Falentinus Pogon juga menyebut enam elemen penting kunci penghapusan kekerasan seksual yakni pencegahan, pemantauan, tindak pidana, sanksi (pidana dan tindakan), hukum acara TPKS, dan hak korban.
“Sementara Asas UU TPKS yakni penghargaan atas harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, katanya.
UU ini, lanjut Falentinus Pogon sangat menuntut sekurangnya 3 partisipasi masyarakat.
Pertama, masyarakat dapat berpartisipasi dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan dan pemantauan terhadap TPKS.
Kedua, pencegahan dengan membudayakan literasi TPKS, mensosialisasikan peraturan perundang-undangan TPKS dan menciptakan kondisi lingkungan aman dari TPKS.
Ketiga, pemulihan memberikan informasi TPKS, memantau penyelenggaraan pencegahan dan pemulihan korban, memberikan dukungan untuk penyelenggaraan pemulihan korban, memberikan pertolongan darurat kepada korban, membantu pengajuan pelindung dan permohonan penetapan dan berperan aktif dalam penyelenggaraan pemulihan korban.
Latar Belakang
Sementara Ketua Perkumpulan Perempuan TRUK, Suster Fransiska Imakulata, SSpS atau yang biasa disapa Suster Ika menjelaskan latar belakang UU ini di mana pada 12 April 2022 pemerintah resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
UU TPKS, lanjut Suster Ika, merupakan upaya pembaruan hukum untuk mencegah, menangani segala bentuk kekerasan seksual, melindungi dan memulihkan korban kekerasan seksual.
Beberapa terobosan dalam UU TPKS yaitu adanya pengaturan hukum acara yang komprehensif mulai dari tahap penyidikan penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpadiskriminasi.
Undang-undang ini di antaranya mengatur tentang Hak korban atas penanganan, perlindungan,dan pemulihan sejak terjadinya TPKS yang merupakan kewajiban negara, kewajiban pelaku membayar restitusi sebagai ganti kerugian bagi korban dengan memasukkan konsep dana bantuan bagi korban atau victim trust fund serta penegasan perkara TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar prosesperadilan, kecuali terhadap pelakuanak.
“Lahirnya UU TPKS sebagai wujud dari kehadiran Negara, namun akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual belum optimal,” kata Sr. Ika.
Suster Ika pada kesempatan ini menunjukkan data di mana hingga Mei 2023, dari 4 pengaduan kasus kekerasan seksual perempuan dewasa baru satu pengaduan yang menggunakan UU TPKS, dan sampai sekarang masih dalam proses penyidikan di Unit PPA Polres Sikka.
“Kendala yang dihadapi dalam penerapan UU TPKS ini di antaranya, belum adanya aturan turunan Undang-undang TPKS, juga pemahaman APH terhadap UU TPKS belum utuh. Selain itu pemahaman publik terhadap UU TPKS ini masih beragam,” katanya.*
Penulis: Wall Abulat/Editor: Wentho Eliando