RUTENG, FLORESPOS.net – Uskup Diosis Ruteng, Mgr. Sipri Hormat mengingatkan semua bahwa ajaran sosial Gereja jelas tentang masalah perdagangan manusia. Gereja mengakui bahwa perdagangan manusia merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia.
Demikian salah satu penekanan Uskup Ruteng, Mgr. Sipri Hormat yang juga Koordinator KKP PPM KWI ketika berbicara pada pembukaan kegiatan penguatan kapasitas Komisi Keadilan, Perdamaian (KKP) Pastoral Migran Perantau (PMP) Keuskupan regio Nusa Tenggara (NTT dan NTB) dan Bali di Aula Efata Ruteng seperti data yang diperoleh JPIC Puspas Keuskupan Ruteng, Sabtu (25/3/2023).
Uskup Sipri menyerukan kepada semua orang yang berkehendak baik untuk bekerja sama mencegah perdagangan manusia, melindungi para korban, dan mengadili para pelaku perdagangan manusia.
“Paus Fransiskus telah menjadi advokat vokal bagi para korban perdagangan manusia dan telah berulang kali berbicara menentang kejahatan yang mengerikan ini,”katanya.
Uskup Sipri, mengingatkan semua atas sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada tahun 2013. Sri Paus Fransiskus menggambarkan bahwa perdagangan manusia sebagai “kejahatan luar terhadap kemausiaan” (extra-ordinary crime) dan meminta semua orang untuk mengambil tindakan guna mengakhiri “perdagangan yang memalukan” ini.
Dalam pesannya untuk Hari Doa Sedunia untuk Kepedulian Ciptaan tahun 2019, Paus Fransiskus mengatakan bahwa momok perdagangan manusia adalah eksploitasi yang rentan, dan gangguan lingkungan adalah realitas yang saling berhubungan yang secara konsisten disertai dengan seruan untuk keadilan.
“Untuk memerangi perdagangan manusia secara efektif, penting untuk mengatasi akar penyebab yang membuat orang rentan terhadap perdagangan manusia, seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan kesempatan kerja yang buruk,” katanya.
Menurutnya, perdagangan manusia adalah bentuk perbudakam modern (modern slavery) yang sangat berbahaya–yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Organisasi Perburuhan Internasional (lLO) merilis data hampir 21 juta orang menjadi korban kerja paksa, termasuk perdagangan, secara global-setiap tahun.
Para korban perdagangan manusia, demikian Uskup Sipri, adalah sesama yang rentan-yang terpikat untuk “dieksploitasi” melalui janji-janji palsu tentang pekerjaan, pendidikan, atau kehidupan yang lebih baik.
“Namun kemudian, mereka dipaksa bekerja di industri seperti perdagangan seks, pertanian, dan pembantu rumah tangga, dan menjadi sasaran kekerasan fisik, emosional, dan seksual,” katanya.
Sedangkan Kandidat Doktor dari KWI, Asaz Tigor Nainggolan dalam materinya mengedepan pilihan pastoral advokasi urusan perdagangan manusia atau migran care, dan lain-lain.
“Seperti membangun isu strategis, yakni pro kehidupan, pro poor dan keadilan melalui media pastoral,” katanya.
Lalu, membangun komunitas basis gerakan pastoral advokasi seperti adanya kelompok pelayanan sosial, animasi adovokasi pelayanan, kaderisasi umat, pelayanan struktural.
Dan, menjadi simbol, yakni kehadiran gereja, membangun lobi-lobi dengan pemerintah dan pembuat keputusan. Masuk juga dalam ranah kekuasaan dan pembuat kebijakan. *
Penulis: Christo Lawudin/Editor:Anton Harus