ENDE, FLORESPOS.net – Kebijakan kontroversi Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat terkait masuk sekolah jam 5.30 untuk SMA dan SMK masih disoroti publik. Kritik dan penolakan terhadap kebijakan ini tidak saja datang dari sekolah dan pemerhati pendidikan di Provinsi NTT tetapi ada yang dari luar Provinsi NTT bahkan luar negeri.
Alumni SMAK Syuradikara Ende yang kini mengenyam pendidikan tinggi di Nanzan University Jepang, Flady F. Abubakar Pae yang akrab disapa Bombi juga menyoroti kebijakan ini.
Bombi yang ditemui di SMAK Syuradikara, Senin (13/3/2023) pagi mengatakan, dirinya mengikuti pemberitaan media terkait kebijakan itu. Menurutnya kebijakan itu tidak melalui proses yang panjang, maka hasilnya mendapatkan penolakan dari seluruh pihak.
“Saya baca di media, ide atau gagasan ini bagus. Niatnya untuk reformasi pendidikan di NTT tetapi proses dari kebijakan ini tidak matang,” katanya.
Dikatakannya bahwa sebelum kebijakan ini dikeluarkan mestinya dilakukan sosialisasi ke semua pihak baik sekolah, orangtua dan siswa untuk mendapatkan masukan.
“Prosesnya mesti dilakukan dengan baik sehingga guru dan siswa itu tidak merasa terpaksa melaksanakannya. Pendidikan itu harus dilalui dalam keadaan yang menyenangkan,” katanya.
Mahasiswa angkatan tahun 2019 di Nanzan University Jepang ini mengatakan bahwa kebiasaan di Indonesia yang melaksanakan satu kebijakan baru dievalusi itu hal yang berbeda dengan di Jepang. Dikatakannya, di Jepang kebijakan itu diterapkan setelah melalui proses yang panjang sehingga dampak negatifnya sangat minim.
“Orang Jepang itu tidak pakai yang namanya jalani dulu baru evaluasi. Di Jepang satu kebijakan itu diambil dan dimplementasikan melalui proses yang panjang sehingga menyadarkan orang untuk menjalani kebijakan itu,” katanya.
Mahasiswa semester akhir program Kebijakan Internasional, Nanzan University ini mengatakan, kualitas pendidikan tidak diukur dari masuk sekolah jam 5.30. Kualitas pendidikan itu lahir dari sebuah proses yang melibatkan seluruh komponen yang bersinergi dalam pembangunan pendidikan.
Sebelumnya, Kepala SMAK Syuradikara, Pater Stefanus Sabon Aran SVD, kepada Florespos.net, Rabu (1/3/2023) pagi mengatakan Syuradikara keberatan dengan kebijakan ini.
Kebijakan ini tidak berdasarkan pada sebuah hasil kajian yang matang dan tidak sesuai dengan konteks atau kebutuhan sekolah, guru, siswa dan orangtua.
Selain itu kebijakan ini tidak ada sosialisasi sebelumnya dan hanya program atau kebijakan untuk mencari dan mendapatkan branding dadakan. Proses pendidikan itu harus berpusat pada peserta didik bukan pada jam masuk sekolah atau yang lainnya.
” Kebijakan sekolah jam 05.00 pagi terkesan minim riset dan hanya mau cari branding dadakan maka perlu dipending dulu penerapannya,” kata Pater Stef Aran SVD.
Kata Pater Stef jika tujuan sekolah jam 05.00 pagi untuk meningkatkan mutu pendidikan maka perlu didiskusikan lagi dengan seluruh stakeholder pendidikan bukan langsung dibuat kebijakan. Kepala SMAK Syuradikara juga mengatakan kebijakan ini belum didukung dengan hasil riset.
“Apakah sudah ada hasil penelitian jika masuk sekolah jam 05.00 pagi anak- anak NTT bisa cerdas dan mutu pendidikan meningkat? Jika mau buat branding pendidikan di NTT maka dengan ada hal “pembeda” dengan provinsi lain maka ciptakan branding yang lain saja”.
“Banyak negara yang mutu pendidikan sudah bagus bukan sekolah jam 05.00 tetapi jam 08.00 atau jam 09.00,” kata Kepsek Syuradikara.
Pater Stef juga mengatakan, kebijakan gubernur tersebut lebih tepat pada seminari atau sekolah yang berasrama dan sekolah itu dijadikan model. Tetapi pola di seminari saat ini adalah anak – anak bangun pagi jam 04.30, mandi lalu pergi misa. Setelah misa sarapan lalu ke sekolah. Jadi sekolahnya jam 07. 15 bukan jam 05.00.*
Penulis: Willy Aran/Editor: Anton Harus