Menguliti Kebijakan Sekolah Jam 5 Pagi 

- Jurnalis

Kamis, 2 Maret 2023 - 21:30 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

GUBERNUR NTT melalui Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT menginstruksikan kepada 10 SMA/SMK yang ada di Kota Kupang untuk mulai melakukan pembelajaran jam 5 pagi. Keputusan itu diambil dalam pertemuan bersama dengan para kepala sekolah.

Tujuannya adalah agar SMA di NTT bisa tembus 200 SMA terbaik nasional, dan lulusan SMA/SMK di NTT bisa kuliah di UI, UGM, ITS bahkan Harvard. Tujuan lain adalah untuk meningkatkan disiplin peserta didik, merestorasi Pendidikan di NTT, memacu semangat belajar. Kebijakan sudah mulai dilaksanakan pada tanggal 27 Pebruari 2023. Riuh rendah suara-suara publik merespon pemberlakuan kebijakan ini.

Ketidakwajaran

Kewajaran (fairness) berasal dari kata wajar. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, wajar maknanya biasa sebagaimana adanya tanpa tambahan apa pun; menurut keadaan yang ada; sebagaimana mestinya. Kewajaran berarti menerapkan prinsip kesetaraan dengan memperhatikan hak setiap orang secara adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari pemaknaan ini, apakah kebijakan sekolah jam 5 pagi masuk kategori wajar?

Dinas Pendidikan Provinsi NTT mendesain konsep sekolah mulai jam 5 dengan maksud untuk menjadi pembeda dari daerah lain di Indonesia bahkan dunia. Karena mau buat yang berbeda, maka konsep ini dinilai tidak wajar, tidak sebagaimana biasanya. Jam mulai sekolah untuk SMA di Indonesia itu jam 07.15. Ini sudah berlaku umum dari dulu dan ada basis regulasinya, ada kajian scientific dan klinisnya.

Namun, secara serta merta di NTT gubernur dan dinas pendidikan mendesain kebijakan lain. Argumentasinya, dalam pertemuan bersama para kepala sekolah ada 10 SMA/SMK yang mau mengikuti ‘pendekatan baru’ ini. pertanyaanya mengapa tidak dimintai dulu kesepakatan orang tua dan peserta didik? Bukankah esensi pembelajaran berbasis kurikulum merdeka adalah mengutamakan kepentingan peserta didik?

Konsep dan kebijakan pendidikan yang tidak wajar ini menimbulkan berbagai ekses. Pertama, ada yang tidak wajar bagi peserta didik ketika mereka harus bangun lebih awal mengingat jam 5 pagi pelajaran sudah dimulai di sekolah. Itu berarti mereka harus bangun jam 4 pagi. Setelah itu bersiap-siap (mandi, berpakaian) lalu sarapan pagi. Setelah itu, ke sekolah.

Bagi yang punya kendaraan sendiri atau orang tua memiliki kendaraan pribadi, maka dengan mudah mengantar anaknya ke sekolah. Tetapi bagi orang tua yang tidak mempunyai kendaraan, anak-anak harus ke tempat yang dilewati kendaraan umum (bemo/angkot/ojek). Itu berarti anak-anak mesti berjalan dalam kegelapan. Ada risiko soal keselamatan anak-anak dalam perjalanan. Ditambah lagi, di jam seperti itu (4.30 pagi) apakah kendaraan umum sudah mulai beroperasi? Jika belum, bagaimana nasib anak-anak ini?

Kedua, dengan bangun lebih awal efeknya adalah anak-anak bisa saja mengantuk di kelas. Karena kepagian bangunnya, maka suasana batin dan mood belum tentu baik untuk memulai pembelajaran jam 5 pagi. Apalagi dengan kondisi rumah yang jauh dari sekolah dan pengalaman cemas saat berjalan ke sekolah. Hal-hal ini turut menyebabkan peserta didik tidak siap untuk mulai proses belajar jam 5 pagi. Tidak heran jika jam-jam pelajaran seharian adalah jam-jam yang bisa melelahkan dan memicu rasa kantuk yang luar biasa.

Baca Juga :  “Familiaris Consortio” Tanggapan Gereja Atas Kasus Kekerasan Terhadap Anak

Ketiga, bagi para guru ini adalah tantangan tersendiri. Sebagai yang memberikan teladan, para guru tentu sudah harus berada di sekolah sebelum jam 5 pagi. Anda bayangkan. Jam berapa mereka harus bangun, kapan mesti menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya di rumah. Bagaimana jika guru perempuan masih mempunyai anak bayi atau anak-anak berusia TK – SD. Dalam kondisi macam begini, kehadiran mereka di sekolah di pagi hari itu tentu dalam kondisi psikis maupun fisik yang belum siap untuk mengajar.

Keempat, bagi orang tua kebijakan sekolah jam 5 pagi ini bukan perkara gampang. Karena ritme dalam rumah berubah. Ada beban psikis (kecemasan, ketakutan) ketika anak-anak harus ke sekolah di pagi buta. Apalagi tidak dengan kendaraan sendiri. Belum lagi mendamaikan anak-anak yang sudah harus ditinggal pergi bapak atau ibunya ke sekolah di saat dini hari.

Ditambah lagi ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang biasanya dilakukan oleh anak-anak (mencari makanan hewan, membersihkan rumah, membereskan perlengkapan makan) pada akhirnya dikembalikan kepada orang tua. Untuk kalangan tertentu juga, waktu di pagi hari biasanya dimanfaatkan untuk mengikuti sholat di masjid atau misa di gereja. Dengan sekolah jam 5 pagi, otomatis rutinitas ini ditiadakan.

Ketidakwajaran-ketidakwajaran di atas yang diakibatkan oleh kebijakan yang tidak wajar justru mengganggu ekostistem pendidikan itu sendiri. Maka bagi saya tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan pemberlakuan sekolah jam 5 pagi ini mustahil terpenuhi justru karena aneka ketidakwajaran itu. Pada akhirnya kualitas belajar peserta didik bukan semakin baik tetapi bisa saja merosot. Semangat belajar bisa saja menurun dan kreativitas para guru untuk mengajar pun stagnan akibat beban psikis dan beban rumah tangga yang harus mereka pikul.

Ketidakwarasan

Banyak kalangan menilai kebijakan sekolah jam 5 pagi ini tidak punya dasar kajian yang rasional dan komprehensif. Kalau ada kajian rasional, maka ketidakwajaran dan ketidakwarasan itu bisa dicegah dan diminimalisir. Hal yang tidak logis adalah menghubungkan masuk sekolah jam 5 pagi dengan terbangunnya kualitas pendidikan dan meningkatnya kecerdasan peserta didik. Seolah-olah semakin awal jam sekolah, semakin pintar peserta didiknya. Padahal orang-orang waras paham betul faktor-faktor apa yang harus diperhatikan untuk mengasilkan lulusan yang bermutu dan meningkatkan kecerdasan peserta didik.

Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Pendidikan mestinya punya grand desain atau cetak biru (blue print) pendidikan di NTT. Ini yang menjadi rujukan pengambilan kebijakan di aspek pendidikan. Bukan kebijakan yang tiba-tiba muncul, yang mimpi semalam lalu keesokan dieksekusi. Untuk meningkatkan kualitas Pendidikan di NTT, agar lulusan SMA/SMK di NTT bisa masuk UI, UGM, ITS bahkan Harvard, supaya SMA/SMK di NTT bisa bersanding di 200 sekolah terbaik di Indonesia, maka rumusnya bukan sekolah jam 5 pagi. Bukan itu. Tetapi beberapa hal berikut ini:

Baca Juga :  Siapapun Bisa Menjadi Seorang Pemimpin

Pertama, pemerintah dan Dinas Pendidikan harus mendesain program yang menghasilkan guru-guru berkualitas tinggi. Guru – guru di sekolah mesti memiliki integritas, komitmen dan tanggung jawab penuh dalam menjalankan tugas. Mereka harus memiliki kecakapan penguasaan materi dan yang paling utama adalah memiliki kemampuan menerapkan metode pembelajaran siswa aktif.

Kedua, faktor kepala sekolah sangat penting. Kepala sekolah mesti memiliki kemampuan manajerial yang handal. Sebagai manajer di sekolah, kepala sekolah harus paham manajemen sekolah; bisa membangun komunikasi dan koordinasi dengan guru-guru; sanggup menciptakan iklim yang kondusif dalam eksosistem pendidikan di sekolah. Karena itu, kepala sekolah haruslah dipilih dari antara yang terbaik, yang professional dan cerdas. Bukan dipilih atas dasar like and dislike atau karena pendekatan politik dan sentimen primordial.

Ketiga, untuk mendongkrak kualitas pendidikan di NTT, sarana dan prasarana serta fasilitas pembelajaran harus disiapkan dengan baik. Selain gedung sekolah yang layak, di sekolah harus ada laboratorium, ruang IT dan fasilitas penunjang lainnya. Tanpa sarana dan prasarana pendukung yang memadai, mimpi untuk wujudkan kualitas pendidikan yang bersaing dengan sekolah-sekolah di luar NTT hanyalah mimpi besar di siang bolong. Fakta hari ini, masih banyak sekolah-sekolah di NTT yang belum layak untuk proses belajar-mengajar karena terbangun seadanya. Kadang-kadang perlu dipertanyakan keberpihakan pemerintah dalam kondisi macam ini.

Keempat, eksosistem pendidikan yang baik memberikan ruang kontrol yang kuat secara berjenjang (dari gubernur, bupati/wali kota, dan kepala dinas pendidikan di semua tingkatan). Yang paling penting juga soal dukungan orang tua. Karena itu, demokratisasi di sekolah harus dibangun. Pihak dinas pendidikan tidak boleh menjadi pihak yang mau mengatur segalanya. Pihak sekolah juga tidak harus membeo untuk berbagai kebijakan dinas terkait. Orang tua perlu dilibatkan dalam berbagai proses pengambilan keputusan yang berdampak terhadap kepentingan peserta didik.

Kelima, untuk mengasilkan lulusan yang bermutu, pemerintah mesti berani mengembangkan boarding school (sekolah berasrama). Niat pemerintah untuk menjadikan 2 sekolah di Kota Kupang sebagai pilot project itu harus ditunjang dengan manajemen boarding school. Contoh pembelajaran berbasis boarding school seperti di seminari dan pesantren harus ditindaklanjuti dengan kajian-kajian dan diskusi ilmiah. Mesti ada ruang pendekatan scientific untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan pendidikan.

Kebijakan sekolah jam 5 pagi, yang kemudian direvisi menjadi 5.30 pagi tetaplah menjadi bola panas di kalangan masyarakat NTT. Ada pro dan kontra. Ada eksplanasi dan klarifikasi. Apapun narasi yang terbangun dalam kaitannya dengan itu, bagi saya kebijakan sekolah jam 5 pagi tetaplah layak untuk dikuliti, dipertanyakan bahkan digugat dari sisi kewajaran dan kewarasan cara berpikir.*

Oleh: Isidorus Lilijawa

Pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat NTT

Berita Terkait

Selamat Bertugas Uskup Perdana Keuskupan Labuan Bajo Mgr. Dr. Maksimus Regus
Menuju Titik Balik (Refleksi: Mgr. Paulus Budi Kleden Pulang Kampung Waibalun)
Politik Dolo-Dolo
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Keluarga Dalam Praktik Pencegahan DBD di Mautapaga-Ende
Kebebasan Berekspresi di Ujung Tanduk
Penunjukan 21 Kardinal oleh Paus Fransiskus, Apakah Gereja dan Masyarakat Membutuhkan Banyak Kardinal?
Ketika Krisis Sosial Memukul Mental Masyarakat NTT, Siapa yang Bertindak?
Awasan Menjelang Pilkada Serentak 2024
Berita ini 5 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 31 Oktober 2024 - 19:26 WITA

Selamat Bertugas Uskup Perdana Keuskupan Labuan Bajo Mgr. Dr. Maksimus Regus

Sabtu, 26 Oktober 2024 - 11:57 WITA

Menuju Titik Balik (Refleksi: Mgr. Paulus Budi Kleden Pulang Kampung Waibalun)

Selasa, 22 Oktober 2024 - 18:59 WITA

Politik Dolo-Dolo

Sabtu, 12 Oktober 2024 - 17:51 WITA

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Keluarga Dalam Praktik Pencegahan DBD di Mautapaga-Ende

Rabu, 9 Oktober 2024 - 21:12 WITA

Kebebasan Berekspresi di Ujung Tanduk

Berita Terbaru