BAJAWA, FLORESPOS.net-Mahasiswa dan mahasiswi Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) STKIP Citra Bakti Ngada, Jumat (3/2/2023), melakukan road show di Kampung Situs Adat Nua Tolo, di Desa Dariwali 1, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada.
Dosen Pendamping, Pelipus Wungo Kaka, M.Pd dalam rilis yang diterima Florespos.net, Senin (6/2/2023) mengatakan, kehadiran mereka diterima Kepala Desa Dariwali 1, Mansuetus E. Nuwa Molo, aparat desa, tokoh adat serta orang tua Kampung Nua Tolo.
Dia mengatakan, kunjungan itu sebagai keluaran dari mata kuliah Jurnalistik. Selain itu, juga untuk memperkenalkan kepada khalayak luar, bahwa ada surga tersembunyi di balik 57 anak tangga di ketinggian 100 meter tersebut.
Mahasiswa Semester V PGSD ini berjumlah 42 orang. Mereka, adalah generasi penerus yang mesti melakukan terobosan bermanfaat dan menjadi pelaku utama menggali sejarah serta potensi di kampung adat Nua Tolo.
“Bukan saja belajar dalam dunia pendidikan, tetapi penting untuk mengenal dan turut mengabdikan diri dalam sektor wisata dan budaya sebagai penangguhan potensi inovasi yang ada di tempat tersebut,” kata Pelipus Wungo.
Pelipus Wungo mengatakan, mahasiswa sewajarnya memahami ilmu masyarakat, budaya yang bersumber kearifan lokal sebagai warisan leluhur agar tetap dipertahankan sebagai aktualisasi diri dalam berbagai bidang keilmuan. Kegiatan ini bermuara pada visi dan misi merdeka belajar-kampus merdeka.
“Karena suatu saat pula akan kembali ke kampung halaman yang memiliki nilai inovasi di tempat tinggal masing-masing untuk bisa memperkenalkan potensi yang ada. Nua Tolo, memiliki 4 rumah adat (Sa’o), yakni Sa’o Lagho Mai (Sa’o Pu’u), Sa’o Weti Wali, sa’o Titu Lena dan Sa’o Sena Mai (Kako Pu’u),” katanya.
Pelipus Wungo mengatakan, berdasarkan pengakuan dan pengeluhan orang tua kampung, mereka merindukan akses jalan menuju kampung tersebut.
Saat ini ketika ada yang sakit dan meninggal, mereka harus pikul/tandu menuju tempat tujuan. Kampung ini memiliki bentuk kapal atau sampan yang diselimuti dengan jurang susah dilewati oleh siapapun.
“Kecuali di bagian timur hanya untuk dilewati manusia dengan menggunakan anak tangga yang sangat menyedihkan dengan penuh nyali hebat untuk bisa melaluinya. Sedangkan di sebelah timur hanya bisa dilewati hewan peliharaan, itupun jalan bagai masuk liang yang beresiko taruhan nyawa,” ungkap Pelipus Wungo.
Kampung Pembuat Periuk Tanah
Lebih lanjut Pelipus Wungo mengatakan, kampung adat ini memiliki nama asli Nua Bu’u. Dikarenakan letaknya berada di atas ketinggian kira-kira 100 meter, dan akses menuju ke kampung ini harus menaiki anak tangga hasil pemberdayaan masyarakat kampung tersebut.
Pada zaman dahulu, lanjut Pelipus Wungo, kampung ini terkenal dengan pembuatan periuk dari tanah atau dalam bahasa daerah disebut “bhogi tana”.
Lambat-laun berkembang menjadi mata pencaharian masyarakat Kampung Adat Nua Tolo. Alat dan bahan untuk membuat “bhogi tana” yaitu pasir, tanah liat, rotan (kua), alang-alang digunakan untuk membakar bagian dalam, batu, kayu (palu) dan feke bahan dari Ua.
Mereka mengolah tanah liat tersebut dengan cara dibanting-banting seperti adonan kue, membentuk tanah liat menjadi periuk dengan menggunakan rotan, membakar bagian dalam dengan menggunakan alang-alang agar “bhogi tana” lebih keras. Dan melakukan proses penjemuran “bhogi tana” yang sudah di bentuk di bawah terik matahari.
Selain bermata pencaharian sebagai pembuat “bhogi tana”, kata Pelipus Wungo, masyarakat sekitar juga bekerja sebagai penenun dan juga petani.
Tiga Suku
Tetua adat Nua Tolo, Linus mengatakan, Kampung Adat Nua Tolo ini didirikan sebelum masa penjajahan Belanda masuk di Indonesia, yaitu kira-kira pada abad ke-16.
Linus mengatakan Kampung Adat Nua Tolo ini terdapat tiga suku yang menetap, yaitu Sawu, Sebo dan Raba. Ketua Suku Sawu, Karolus No’u, Suku Sebo, almarhum Pit Pedhu, dan Suku Raba, almarhum Yosep Dopo Raba.
Hingga saat ini, suku yang mendiami Kampung Adat Nua Tolo hanya tersisah dua, yakni Suku Sawu dan Suku Sebo.
“Dulu Suku Sawu pindah dari kampung tersebut dikarenakan pada zaman itu terdapat banyak kesulitan yang terjadi seperti akses jalan yang mengharuskan menggunakan anak tangga, kesulitan air bersih, serta akses listrik yang belum bisa dijangkau maka Suku Raba memutuskan untuk berpindah ke kampung Jere,” jelas Linus.
Meski Suku Raba telah berpindah ke Kampung Jere, kata Linus, tetapi hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan masyarakat di Kampung Adat Nua Tolo. Hal ini dibuktikan dengan leluhur pertama Suku Raba, yaitu Ture Raro dikuburkan di Kampung Adat Nua Tolo.*
Penulis: Wim de Rozari / Editor: Wentho Eliando