Oleh P. Kons Beo, SVD
“Hidup ini seperti buku. Cover depan adalah tanggal kelahiran, cover belakangnya adalah tanggal kematian. Tiap lembaran halaman adalah hari-hari dalam hidup kita…” – (Anonim).
Saatnya semuanya mesti terhenti. Segala yang akan datang dan terpatri dalam rencana tetaplah menjadi “ruang-tempat-waktu” yang kosong. Ia tak pernah terisi penuh, apalagi sempurna. Kita bukanlah makhluk ekstra ordinari, penuh luar biasa, yang sanggup menjalankan segala kehendak hati selengkapnya.
Ada satu titik perhentian paling pasti di kesementaraan ini. Yang tak mungkin terelakkan. Itulah kematian setiap kita. Kepastian dari kehidupan adalah kematian itu sendiri. Dan apakah yang mesti kita sikapi di balik kenyataan paling pasti, yakni kematian itu? “Tak ada yang abadi,” begitulah senandung Ariel – Noah.
Kita hanya “meminjam” seperangkat waktu sementara dari keabadian waktu ilahi. Semuanya mesti diisi, diukur, dan ditimbang dalam segala kisah dan peristiwa. Dan ketika saatnya tiba, pinjaman waktu itu mesti dikembalikan. Semuanya diserahkan lagi kepada pemilik waktu. Tuhan itu sendiri.
Syukurlah bila ada sekian banyak bunga amal ibadah yang memeterai pinjaman waktu itu. Di kesementaraan yang pasti berlalu ini, Tuhan telah karuniakan banyak hal. Itulah rahmat dan berkat-Nya yang sepantasnya kita bungakan dalam hidup ini.
Harus kah kita menyesal bahwa saatnya itu akan pasti datang? Bermuram durjakah kita bahwa ziarah hidup ini pasti terhenti? Tentu tidak! Kesementaraan ini justru memacu kita untuk berkreasi, untuk berbuat sesuatu dan untuk beramal.
Kita bertarung agar hidup kita miliki makna dan sungguh berarti. Bahwa talenta yang Tuhan anugerahkan menjadi berkembang dan tak disimpan dalam tanah (cf. Mat 25:14-30). Kita mestinya tak jenuh untuk bertafakur, “Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik.” Tak pernah boleh menyerah di atas segala kegagalan, kerapuhan, dan segala keterbatasan.
Kesementaraani ini tetaplah menjadi arena luas, tempat di mana nilai-nilai surgawi dan injili menjadi nyata dan mesti diperjuangkan. Tuhan menciptakan setiap kita manusia dalam kasih-Nya. Ada waktunya, sekali lagi, ketika harus kembali kepadaNya.
Kita pasti kembali! “Kita memang harus jatuh ke tanah dan mati. Tetapi, dalam rahmat Tuhan, kita pasti sanggup menghasilkan buah. Dan buah-buah itulah yang tinggal tetap dan jadi hiasan-hiasan indah dan mulia bagi dunia, (Cf. Yoh. 12:24).
Di kesementaraan ini, kita bertarung agar buah-buah roh itu sungguh menjadi nyata, “Kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri,” (Gal 5:22-23).
Di hari peringatan arwah segenap kaum beriman, kita dipaksa berhenti, diam, dan tertegun sejenak. Kita kenangkan sekali lagi semua mereka yang telah kembali. Kita memanggil pulang mereka dalam doa-doa kita yang hangat. Dalam memori kita yang segar. Semoga sekalian mereka berbahagia dalam Rumah Abadi.
Peringatan arwah segenap kaum beriman adalah kesempatan yang indah dan teduh demi rangkaian pelajaran tentang kehidupan. Bukankah kita kenangkan segala kesaksian hidup mereka yang unggul? Bukankah kita teringat akan suara dan kata-kata yang pernah mereka ungkapkan demi kebaikan jalan hidup kita? Tidakkah kita kembali berterima kasih atas aura hidup yang telah mereka wariskan demi kita sendiri harus menjalani roda kehidupan ini? Tanpa menyerah dan disandra oleh rasa putus asa?
Tetapi, di atas segalanya, peringatan arwah tentu mengajarkan kita akan kekuataan satu iman, harapan dan kasih! Allah memanggil kita semua sebagai putra-putri-Nya dalam Yesus, tentu juga melalui warisan iman dari mereka yang telah berpulang. “Ingatlah kita secara khusus akan orangtua kita masing-masing, sekiranya mereka telah kembali, bahwa sebuah tanda salib sederhana, namun penuh makna, telah mereka ajarkan penuh sabar dalam keyakinan dan dalam iman!
Pada hari peringatan arwah kaum beriman, mari kita rekatkan kembali nuansa persaudaraan dan kekariban debu tanah. Teringatlah kita akan kata-kata Tuhan, “…Sebab engkau debu tanah dan akan kembali menjadi debu tanah” (Kej. 3:19). Dalam kerapuhan dan keterbatasan debu tanah, kita semua terpanggil untuk saling meneguhkan!
Mari kita hayati yang sederhana. Hiduplah kita dalam kasih persaudaraan. Kita tak pernah tahu pasti kapan saya, engkau, dia, mereka akan kembali. Sebab itu, adakah hal yang mencederai kebersamaan? Adakah kisah yang bikin kita makan hati? Adakah rasa yang selalu tak mengenakkan? Adakah segala “ini itu” yang semakin menjarakkan relasi antara kita?
Adakah kisah tertentu yang menebalkan amarah dan dendam? Maka lepaskan semuanya dalam Kasih di Salib Kematian Tuhan yang teduh mengampuni dan membebaskan.
Dalam “persaudaraan debu tanah” kita, dalam Kasih Kristus, Kebangkitan dan Kehidupan, kita berjuang untuk memohon maaf-pengampunan dan berani berbesar hati untuk memaafkan. Kita berbesar hati dan berjiwa merdeka untuk saling membebaskan satu sama lain dalam tindakan kasih itu sendiri.
Kita berjuang untuk saling memberikan yang terbaik demi hidup dan kemajuan hidup dari sesama-sesama kita! Kita pasti tak menghendaki bahwa ternyata kita terlambat memberi maaf atau memohon pengampunan dari saudara kita sendiri, yang telah berpulang.
Ia telah pergi sebatas dalam dendam, kemarahan, dan penyesalan. Setiap kita pasti tak menghendaki bahwa semuanya hanya terbentur pada duka dan air mata keterlambatan dan penuh penyesalan.
Mari kita mohon pada Tuhan agar bersama saudara-saudari kaum beriman yang telah berpulang, “Tuhan, Buatlah agar hati kami senantiasa berpadu dalam Kasih Agung-Mu.”
Verbo Dei Amorem Spiranti
Et lux perpetua luceat eis – kiranya cahaya abadi menyinari sekalian mereka.