RUTENG, FLORESPOS.net-Dari data-data yang ada, sumber konflik sosial terbanyak di Kabupaten Manggarai, NTT adalah berkaitan dengan masalah tanah.
Ketika berbicara pada momen kegiatan Binkom Cegah Konflik Sosial yang diadakan Kodim 1612/Manggarai di Ruteng, Selasa (14/5/2024), Kaban Kesbangpol Linmas Manggarai, Gon Nggarang mengatakan, sesuai dengan data yang ada, dalam lima tahun terakhir ini, konflik tanah menempati urutan teratas di Manggarai.
“Konflik tingkatannya mulai dari yang kecil saja, hingga besar yang berujung perang tanding dan pertumpahan darah,” katanya.
Konflik tanah yang terjadi itu, bisa antar induvidu, induvidu dengan kelompok, atau individu dengan pemerintah atau lembaga lainnya.
Lalu, bisa juga terjadi kelompok dengan kelompok atau kelompok dengan pemerintah atau lembaga lainnya.
Mengapa terjadi? Karena masing-masing memiliki cerita sejarah sendiri atas tanah itu. Saling mengklaim itu yang menimbulkan perbedaan sehingga terjadinya konflik sosial.
Saat ini, pihaknya sedang menangani konflik tanah masyarakat pada salah satu desa di Kecamatan Rahong Utara dan konflik tanah sekolah di Lao, Kecamatan Langke Rembong.
Secara keseluruhan, dari 12 kecamatan di Manggarai, yang paling banyak dan rawan dengan konflik tanah tersebut terdapat pada 6 kecamatan.
Dari kasus yang ada, ada yang telah diselesaikan, tetapi juga yang sedang dalam upaya penanganan baik lewat jalur adat, jalur pemerintah maupun jalur hukum.
“Kalau pemerintah biasanya ambil jalan tengah, musyawarah mufakat. Dan, cepat bergerak ketika ada informasi adanya konflik tanah yang dilaporkan,” katanya.
Menurutnya, untuk mencegah agar konflik tidak meluas dan tidak mengarah pada adu kekuatan fisik, memang tidak bisa sendiri, tetapi bersama-sama institusi lain.
Selama ini memang komunikasi dengan kepolisian dan TNI selalu jalan baik dalam upaya menjaga situasi di lokasi konflik tanah yang sedang memanas.
Sedangkan Kabag Ops Polres Manggarai, AKP Burhanudin mengatakan, sumber konflik sebetulnya banyak. Salah satunya sering terjadi di Manggarai ini adalah berkaitan dengan masalah tanah.
“Sengketa sudah diupayakan penanganan, tetapi kadang sulit selesai. Titik temu tidak ada antara para pihak,” katanya.
Sebabnya apa? Para pihak masih memegang benar sendiri dan paling hebat sendiri. Kalau seperti ini, maka sulit diselesaikan sehingga konflik jalan terus.
Memang kalau jalur mufakat tidak diterima, maka pilihan terakhir jalur hukum. Karena itu, apapun keputusan pengadilan, maka siapapun harus menghormati dan menerimanya. *
Penulis: Christo Lawudin I Editor: Wentho Eliando