Oleh: Marianus Gaharpung
PUBLIK “menggugat” terhadap eksistensi Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai sudah hilang independensi, obyektif, kepastian hukum serta keadilan dalam menjatuhkan vonis. Sampai-sampai Publik memberi sinonim MK adalah “mahkamah keluarga”.
Wajar karena publik warga tanah air sakit hati kecewa dengan sikap politik Joko Widodo Gibran Prabowo dan semua partai Koalisi Indonesia Maju.
Joko Widodo beberapa hari ini lupa bahwa dirinya sebagai kepala negara dan pemerintahan harus tegak menjaga kesakralan Konstitusi Negara melalui putusan MK.
Fakta bercerita lain, Konstitusi Negara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan ketatanegaraan bangsa ternyata dikangkangi secara masif untuk ambisi elit elit politik yang rakus akan kekuasaan.
Tangan- tangan jahil mulai mengskrenario dengan adanya putusan MK, capres cawapres dengan batas usia minimal 40 tahun atau sedang dan telah menjadi Kepala Daerah. Dengan terang benderang putusan MK ini secara sistematis menabrak Konstitusi UUD 1945.
Publik hilang kepercayaan terhadap lembaga negara yang diberi kewenangan menjaga konstitusi dengan alasan.
Pertama, mengapa pengujian Pasal 169 huruf q tentang batas usia minimal 40 tahun capres-cawapres baru dilakukan saat-saat menjelang pilpres.
Hak konstitusional warga negara yang mana dilanggar? Kedua, apapun alasannya putusan MK tersebut tidak lain menyiapkan “karpet merah” buat Gibran Rakabuming mendampingi Prabowo Subianto.
Ketiga, apa yang luar biasa sehingga membuat semua pimpinan partai besar Koalisi Indonesia Maju menjadi “bebek lumpuh” mendukung full kepada Gibran Rakabuming Raka? Apakah ada bargaining politik apakah ada bargaining hukum?
Publik menilai putusan MK menjadi “senjata” ampuh untuk meloloskan putra sulung Joko Widodo sebagai cawapres Prabowo.
Pertanyaannya, apakah putusan MK ini sah dan mengikat (erga omnes) semua warga negara dan lembaga negara? Apakah juga mengikat KPU sebagai wasit pilpres 2024? Sehingga pertanyaan selanjutnya, apakah pendaftaran Prabowo dan Gibran pada KPU Rabu, 25 Oktober juga sah dan mengikat atas dasar putusan MK?
Dalam Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jelas mengatur beberapa hal yang harus dipenuhi agar putusan hakim dan hakim konstitusi dinyatakan sah dan mengikat semua (erga omnes). Sifat putusan MK mengikat semua warga negara, penyelenggara serta lembaga negara.
Pasal 3 ayat 1 Undang Undang No. 48 Tahun 2009 dijelaskan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
Ayat (2) segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 17 ayat (3), Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
Pasal 17 ayat (5) seorang hakim atau panitera wajib, mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Atas dasar isi ketentuan Pasal 17 ayat 3 dan ayat 5, terlihat secara kasak mata, Ketua MK adalah Anwar Usman yang adalah ipar kandung Joko Widodo otomatis “Omnya Gibran”.
Oleh karena itu, dari aspek kemandirian hakim dan hakim konstitusi jelas- jelas telah diamputasi melalui vonis MK No. 90 tersebut dengan tujuan demi meloloskan putra sulung Joko Widodo yang adalah ponakan Ketua MK.
Ini fakta, semua mata bisa melihat menilai bahwa 9 hakim konstitusi terutama Ketua MK diduga tidak obyektif, tidak jujur, tidak independen dibawa kendali Joko Widodo.
Publik berani mengatakan dinasti Joko Widodo benar ada dan dimulai melalui Pilpres 2024. Atas fakta hukum ini, publik mempertanyakan, apakah Indonesia masih pantas dipredikatkan negara hukum atau negara para bandit “politik” perusak tata hukum Indonesia?
Oleh karena itu, KPU sebagai “wasit” pada pilpres 2024, wajib menolak pendaftaran pasangan capres cawapres Prabowo dan Gibran yang akan dilakuian pendaftaran Rabu 25 Oktober, karena mendasarkan pada putusan MK yang secara subatansi batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada. Beranikah, nyali KPU diuji! *
Penulis: Dosen FH Ubaya Surabaya