“Familiaris Consortio” Tanggapan Gereja Atas Kasus Kekerasan Terhadap Anak

- Jurnalis

Minggu, 22 Oktober 2023 - 20:03 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Maria Stefani Muliati

ANAK merupakan anugerah terindah dari Tuhan dalam kehidupan perkawinan. Tujuan dari perkawinan adalah untuk membangun keluarga yang sejahtera dan harmonis.

Kehadiran anak dalam kehidupan perkawinan merupakan sebuah anugerah yang patut disyukuri. Karena tidak semua orang yang hidup dalam ikatan perkawinan bisa melahirkan anak.

Tujuan dari perkawinan adalah menciptakan manusia baru.

Hal ini sesuai dengan firman Allah yang disampaikan dalam Perjanjian Lama (kej 1: 28) “Allah memberkati mereka lalu Allah berfirman kepada meraka “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan dilaut dan burung-burung diudara dan atas segala bintang yang merayap di bumi”.

Sebagai ungkapan rasa syukur karena dipercayakan Allah untuk melahirkan anak kedunia, maka tugas orang tua adalah membesarkan anak dengan penuh tanggung jawab, serta memberikan kehidupan yang layak bagi anak-anak.

Selain itu orang tua juga berkewajiban untuk memberikan pendidikan serta kasih sayang yang secukupnya kepada anak-anak.

Bukan menjadi pelaku utama tindak kekerasan. Namun pada realitnya, banyak sekali orang tua yang tidak memenuhi tanggung jawabnya dengan baik. Banyak sekali anak-anak menjadi korban keegoisan orang tua.

Faktor yang menyebakan terjadinya tindakan kekrasan terhadap anak diantaranya adalah faktor ekonomi. Ekonomi yang lemah dijadikan alasan penyebab adanya tindakan kekerasan.

Baca Juga :  Pentingnya Pelatihan Bagi Kader Kesehatan Dalam Penanganan Korban Henti Jantung

Selain itu faktor kedua adalah mental yang belum siap untuk melahirkan anak, anak harus menanggung keegoisan orang tuanya. Depresi dan frustasi juga merupakan faktor lain menyabkan terjadinya kekerasan terhadap anak.

Dari permasalahan ini pelajaran yang kita ambil adalah perlunya persiapan yang matang sebelum menikah, baik dari segi ekonomi maupun mental.

Anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan serta kasih sayang dari orang tua, justru menjadi korban kejahatan serta keegoisan orang tuanya sendiri.

Banyak anak yang diterlantarkan, disiksa bahkan dibunuh oleh orang yang dianggap sebagai pelindungnya.

Permasalahan ini membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah, masyarakat, dan tentunya Gereja. Dalam UU No 35 tahun 2014 pasal 76 c menyatakan “setiap orang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak” diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak 72 juta.

Banyak bentuk dari tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik, mental atau psikis serta kekerasan seksual. Kekerasan yang sering didapatkan anak-anak adalah kekerasan fisik yang yang mengakibatkan kematian, menyisakan rasa trauma yang berkepanjangan.

Baca Juga :  Merenung Pak Jokowi: Antara Titik Sunset dan Sunrise Kekuasaan (sekadar butir-butir pasir  di sepanjang pantai  negeri)

Melihat fakta ini tentunya gereja mengambil tindakan untuk mengatasi permasalahan ini. Gereja melalui ajarannya tidak setuju dengan tindakan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tuanya.

Karena sejatinya orang tua merupakan perisai bagi anak-anak, sehingga anak-anak bisa terlindung dari segala bentuk kekerasan.

Dalam Ensklik Familiaris Consortio artikel 8 dikatakan “Keluarga, yang didasarkan pada cinta kasih serta dihidupkan olehnya merupakan persekutuan pribadi-pribadi: suami dan istri, orangtua dan anak-anak, sanak-saudara. Tugasnya yang pertama yakni: dengan setia menghayati kenyataan persekutuan, disertai usaha terus menerus untuk mengembangkan rukun hidup yang autentik antara pribadi-pribadi”.

Tindakan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua, merupakan suatu penyimpangan terhadap ajaran gereja sebagaimana yang tertuang dalam ensklik Familiaris Consortio artikel 8, yang mana disampaikan bahwa keluarga merupakan perkesekutuan pribadi yang hidup didasarkan cinta kasih.

Namun kenyataannya sangat berbanding terbalik. Banyak anak mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari orang tuanya. Realita ini menunjukkan, masih banyak keluarga belum menghayati makna dari sebuah keluarga.

Kehadiran Ajaran Sosial Gereja, melalui Ensiklik Familiaris Cosortio hendaknya memberikan pencerahan kepada keluarga katolik, bagaimana penghayatan kehidupan keluarga yang seharusnya. *

Penulis: Mahasiswi STIPAS St. Sirilus Ruteng, NTT

Berita Terkait

Selamat Bertugas Uskup Perdana Keuskupan Labuan Bajo Mgr. Dr. Maksimus Regus
Menuju Titik Balik (Refleksi: Mgr. Paulus Budi Kleden Pulang Kampung Waibalun)
Politik Dolo-Dolo
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Keluarga Dalam Praktik Pencegahan DBD di Mautapaga-Ende
Kebebasan Berekspresi di Ujung Tanduk
Penunjukan 21 Kardinal oleh Paus Fransiskus, Apakah Gereja dan Masyarakat Membutuhkan Banyak Kardinal?
Ketika Krisis Sosial Memukul Mental Masyarakat NTT, Siapa yang Bertindak?
Awasan Menjelang Pilkada Serentak 2024
Berita ini 45 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 31 Oktober 2024 - 19:26 WITA

Selamat Bertugas Uskup Perdana Keuskupan Labuan Bajo Mgr. Dr. Maksimus Regus

Sabtu, 26 Oktober 2024 - 11:57 WITA

Menuju Titik Balik (Refleksi: Mgr. Paulus Budi Kleden Pulang Kampung Waibalun)

Selasa, 22 Oktober 2024 - 18:59 WITA

Politik Dolo-Dolo

Sabtu, 12 Oktober 2024 - 17:51 WITA

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Keluarga Dalam Praktik Pencegahan DBD di Mautapaga-Ende

Rabu, 9 Oktober 2024 - 21:12 WITA

Kebebasan Berekspresi di Ujung Tanduk

Berita Terbaru