Oleh Marianus Gaharpung
PUBLIK bangsa hari ini dan beberapa bulan ke depan melihat “cermin” negara ini diisi oleh orang -orang yang memiliki peran sebagai berikut Pertama, ada memiliki niat tulus untuk kemajuan bangsa dan negara.
Kedua, ada juga oknum oknum elit dengan kendaraan politiknya demi “melegalkan” semua kepentingan yang ujung- ujungnya kenikmatan kekuasaan.
Ketiga, ada kelompok warga dengan himpitan ekonomi, hidup pasrah negara mau dibawa kemana asal mereka dapat menyambung hidup.
Keempat, ada juga kelompok yang kerjanya jual integritas diri moralitas nilai nilai keagamaannya demi kenikmatan ekonomi.
Dari peta perangai warga bangsa saat ini terlihat sekali jika dikaitkan dengan “sandiwara” politik menjelang pemilu dan terutama pilpres 2024.
Awal hiruk pikul ini bermula dari vonis kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) yang memasukkan norma baru dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu yakni capres cawapres usia 40 tahun atau sedang dan telah menjadi kepala daerah.
Padahal memasukkan norma baru bukan kewenangan MK tetapi open legal policy pembuat undang undang DPR dan Pemerintah.
Masa 9 orang hakim MK latar belakang dokter profesor hukum tata negara tidak punya nalar yang logic argumentatif bahwa konstitusi negara sesuatu yang “sakral” bagi Indonesia tidak boleh diotak- atik semuanya.
Wajar warga tanah air mengatakan hari ini moralitas integritas hakim MK sangat rendah. Warga tidak berpendidikan melihat fenomena MK ini bisa menebak bahwa semua ini ada “orderan” tidak mungkin “cek kosong”.
Oleh siapa dan untuk siapa putusan MK ini semua kita tidak bisa menebak tetapi nurani kita tidak bisa membohongi.
Dalam konteks hari ini terlihat para elit penguasa sangat keasyikan mengejar kekuasaan terlihat mulai melupakan hakekat mendirikan dan bernegara demi kesejahteraan rakyat.
Para oknum elit politik sangat asyik memikirkan bagaimana dan dengan cara apa saja rasional maupun tidak asalkan dapat merebut kekuasan di pemilu dan pilpres 2024.
Jujur saja publik tanah air merasa kecewa berat melihat tatakrama berpolitik anak anak bangsa hari ini kok bisa- bisanya batas usia minimal capres cawapres adalah sesuatu yang melebihi urusan tata kelola pemerintahan jujur, adil dan bebas dari korupsi yang menjadi prioritas?
Mengapa dalam konteks politik hari ini uji materiil batas usia minimal capres cawapres terlihat terkesan tergesah gesah menjelang pilpres?
Publik sudah kecewa dan semua mata pasti tertuju kepada Joko Widodo karena pengendali politik bernegara yang santun beradab ada di tangan presiden bukan siapa siapa.
Apapun argumentasi yang keluar dari pernyataan Joko Widodo nurani publik sudah terlanjut kecewa hari ini. Dan, pihak Prabowo dan partai pengusung suasana hari ini menjadi “keuntungan politik” karena apapun alasannya Jokowi secara “bahasa” tubuh mendukung Prabowo.
Pertanyaan publik, mengapa Prabowo tidak segera menentukan cawapresnya? Publik dibuat penasaran apa menunggu kembalinya Jokowi dari China? Apakah perlu minta restu Joko Widodo agar Gibran Rakabuming mendampingi Prabowo?
Apakah ada keyakinan dan jaminan dari Prabowo dan partai pendukung bahwa cawapres Gibran Rakabuming maka otomatis menaikkan elektoral suara publik untuk pasangan ini atau justru sebaliknya turun?
Mengingat pasca putusan MK serentak membuat publik sakit hati. Artinya jika Prabowo tetap ngotot bergandengan dengan Gibran sama saja reputasi Prabowo akan habis pada pilpres 2024.
Dan, sangat boleh jadi dalam perjalanan menuju pilpres 2024 beberapa pengurus partai pengusung terutama di daerah akan menentukan sikap berbalik mendukung Ganjar-Mahfud. Semua kemungkinan bisa terjadi dalam berpolitik.
Oleh karena itu, Gibran Rakabuming Raka tolong gunakan hati nuranimu dan ingat PDIP yang telah “menjadikan” keluargamu. Jangan karena keegoan merusak dirimu dan kepercayaan publik yang sangat bagus kepada Joko Widodo.
Karena jika anda tetap menerima lamaran Gerindra mendampingi Prabowo Subianto itu artinya dugaan publik Dinasti Joko Widodo benar ada. Ingat, rakyat masih mencintai Presiden Joko Widodo. Semoga! *
Penulis: Doson FH Ubaya Surabaya