Oleh: Virginia Waning Dama
KEHIDUPAN keluarga di zaman modern ini terdapat banyak ancaman dan tantangan yang muncul. Hal ini dikarenakan arus globalisasi yang begitu pesat sehingga membawa perubahan bagi tata nilai kehidupan manusia.
Rendahnya nilai cinta kasih, kesetiaan, sikap egoistis yang hanya ingin mencari kepuasan bagi diri sendiri, serta rendahnya sikap keterbukaan antara satu dengan yang lain, sehingga begitu banyak pasangan suami istri yang terjerumus dalam kasus peselingkuhan dan berujung pada perceraian.
Banyak rumah tangga yang hancur akibat dari perselingkuhan dan pengkhianatan yang dilakukan, baik itu laki-laki atau suami yang mengkhianati istrinya, maupun sebaliknya istri yang mengkhianati suaminya sendiri.
Kasus perselingkuhan yang terjadi dalam kehidupan zaman ini bukanlah suatu hal yang baru bagi kita.
Kerap kali orang menganggap, selingkuh merupakan suatu hal yang biasa saja, tanpa menyadari dampak buruk ataupun resiko dari perselingkuhan yang dapat menghancurkan kehidupan keluarganya sendiri dan juga orang lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Perselingkuhan berarti suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur, dan juga curang.
Perselingkuhan juga merupakan hubungan seks yang dilakukan seseorang yang sudah menikah secara Gereja Katolik dengan seseorang yang bukan merupakan pasangannya sendiri sehingga menghancurkan kehidupan rumah tangga mereka.
Perselingkuhan yang terjadi dalam Gereja Katolik merupakan bentuk pelanggaran terhadap janji suci perkawinan yang telah disahkan oleh Gereja Katolik itu sendiri.
Yang mana, perkawinan merupakan suatu bentuk persekutuan hidup suami istri, yang menghubungkan diri dalam suatu ikatan dan telah diteguhkan oleh gereja dengan tujuan bukan hanya untuk kelahiran dan pendidikan anak melainkan kesejahteraan suami istri itu sendiri.
Dengan adanya kasus perselingkuhan, maka sulit untuk mewujudkan kehidupan keluarga Katolik yang harmonis.
Dalam Katolikana Wajah Nusantara, Romo Rofinus Sabtian Harlambang, MSF, melalui Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017-2018, mengatakan bahwa kasus perceraian mengalami kenaikan, di mana pada tahun 2017 tercatat 374.516 kasus dan meningkat drastis di tahun 2018 menjadi 408.202 kasus penceraian dalam keluarga Katolik.
Berdasarkan data di atas mengenai perselingkuhan yang berujung pada perceraian pasangan suami istri Katolik, tentu hal ini merupakan masalah serius yang dihadapi oleh Gereja Katolik saat ini.
Dengan demikian, maka perselingkuhan merupakan suatu hal yang sangat bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik karena merusak keharmonisan hidup keluarga Katolik.
Seperti kita ketahui bahwa keluarga sebagai sel utama yang merupakan komunitas kasih yang dipanggil oleh Allah untuk mewartakan kabar gembira dan juga hidup dalam persekutuan yang rukun serta mampu menyebarkan dan mengungkapkan cinta kasih kepada dirinya sendiri ataupun orang lain baik itu dalam keluarga maupuan masyarakat.
Gereja sendiri menyadari bahwa pernikahan dan keluarga termasuk nilai-nilai manusiawi yang paling berharga.
Dengan demikian, Gereja Katolik sangat menentang perselingkuhanyang mana dalam kitab suci menyatakan bahwa pernikahan hanya dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa adanya orang ketiga (Kej 2:24).
Gereja Katolik juga memberikan perhatian khusus terhadap keluarga Katolik.
Hal ini termuat dalam Ensiklik Familiaris Consortioart. 2 Sinode tahun 1980 yang mana di sana ditegaskan alasan mengapa Gereja memperhatikan secara khusus keluarga-keluarga katolik hal ini di karenakan, Kelurga merupakan panggilan dari Allah untuk hidup bersatu dengan rukun dalam mewartakan injil kepada semua orang untuk mencapai kematangan secara manusiawi dan juga iman melalui pembinaan maupun katekese.
Dalam Familiaris Consortio, 33 Paus Yohanes Paulus II mengamanatkan bahwa Gereja mempunyai tugas menjaga dan melindungi martabat luhur perkawinan, yang mana secara moralitas pernikahan gereja adalah guru dan juga ibu.
Sebagai guru, gereja selalu mewartakannorma moral, yang menjadi pedoman bagi penyaluran kehidupan secara bertanggung jawab.
Gereja bukanlah yang menciptakan norma itu, melainkan dalam kepatuhan kebenaran yakni Kristus itu sendiri, Gereja menafsirkan norma moral serta menyajikannya kepada semua orang yang berkemauan baik.
Sebagai ibu, Gereja merangkul suami istriyang mengalami kesulitan bukan hanya dalam melaksanakan norma moral secara konkret, melainkan juga dalam memahami nilai-nilai yang terpaut di dalamnya. Yang mana termasuk juga di dalamnya masalah perselingkuhanserta ancaman terhadap keutuhan perkawinan.
Gereja yang sekaligus Guru dan Ibu selalu menganjurkan dan mendorong semua anggotanya untuk memecahkan kesukaran-kesukaran mana pun juga dalam pernikahan, tanpa pernah memalsukan atau mencemarkan kebenaran.
Gereja selalu menginginkan yang terbaik untuk keutuhan keluarga dengan menganjurkan kondisi-kondisi yang menjamin cinta kasih suami istri, yaitu: ketabahan dan kesabaran, kerendahan hati dan keteguhan budi serta ketulusan.
Maka, melalui Familiaris Consortio, Gereja membantu keluarga untuk keluar dari permasalahan hidup mereka yaitu dengan menunjukkan sikap hormat, solidaritas dan pengertian, serta memberi bantuan praktis, sehingga mereka menyadari dan tetap mempertahankan kesetiaan mereka dalam situasi sulit apapun.
Gereja juga menolong mereka dengan memupuk rasa perlu mengampunan, yang tercakup dalam cinta kasih Kristiani, sebagaimana halnya cinta Allah kepada manusia yang mengutus putra-Nya Yesus Kristus ke dunia untuk menebus dosa manusia.
Gereja juga perlu menyadarkan umat bahwa ikatan pernikahan yang sah tidak dapat diceraikan, karena mereka memiliki tugas dalam keluarga dan tanggung jawab hidup Kristiani. Kesetiaan dan sikap konsisten merupakan nilai yang istimewa sebagai kesaksian di tengah masyarakat dan dalam Gereja.
Gereja juga perlu menyediakan secara terus menerus cinta kasih dan bantuan, tanpa ada halangan apa pun untuk memperbolehkan mereka menerima Sakramen-Sakramen. *
Penulis: Mahasiswi STIPAS St. Sirilus Ruteng, NTT