Oleh: Sarlianus Poma, S.Pd.,M.M
INDONESIA dan dunia dibayangi krisis pangan. Ancaman krisis pangan kian nyata di tahun 2023 ini. Kita sudah memasuki pertengahan tahun 2023. 2023 sebentar lagi berakhir, dan kita akan menatap tahun 2024.
Bulan-bulan menjelang akhir tahun, kita dihadapkan pada suatu masalah serius, yaitu ancaman krisis pangan. Itu tidak menutup kemungkinan ancaman krisis pangan akan berlanjut hingga tahun 2024. Ancaman ini makin bahaya bila tidak ditanggapi secara serius oleh penyelenggara Negara, dalam hal ini Pemerintah.
Berbicara pangan sangat erat kaitannya dengan sektor pertanian. International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia) menyebutkan potensi resesi ekonomi di tahun 2023 ini kian besar dan besar kemungkinan berlanjut hingga tahun 2024. Pemicunya adalah adanya kenaikkan harga pangan dan inflasi, sehingga komoditas pertanian menjadi salah satu pemicu terjadinya inflasi.
Krisis pangan ditandai dengan harga pangan yang terus naik dan sulit dijangkau oleh konsumen. Beras adalah salah satunya. Saat ini harga beras masih tinggi. Tingginya harga beras di atas batas kewajaran menunjukkan bahwa stok dan harga beras menghadapi ancaman darurat.
Produksi beras turun, harga beras dan gabah makin meninggi, serta musim tanam tak menentu akibat pasokan air irigasi pertanian yang makin menipis. Ini sebuah tanda bahwa Indonesia bahkan dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja (the world is not OK now). Apa enggak bahaya tah?
Menurut data Organisasi Pangan Dunia atau Food and Agricultural Organization (FAO), pada Juni 2023 bahwa Indeks Harga Pangan berada di posisi 122,3. Lebih buruk dibandingkan periode 2013-2020. Namun, kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan rata-rata 2022 yang 143,7 dan 125,7 di tahun 2021.
Dengan indeks yang mulai membaik, ternyata kondisi mengkwatirkan di sektor pangan masih belum pupus. Dalam State of Food Security dan Nutrition in the World (SOFI) yang dirilis lima badan PBB-salah satunya FAO-pada 12 Juli 2023, ada 735 juta orang saat ini menghadapi kelaparan, naik 19,7% ketimbang tiga tahun lalu. (Sumber: Economist Impact).
Dalam daftar 10 negara eksportir utama beras dunia, India berada di urutan teratas. Data Statista menyebutkan, untuk periode 2022/2023 India mengekspor 21,5 juta ton beras atau 42,5% dari total beras yang dikirim 10 negara ke pasar global (Sumber: Economist Impact). Terbayang kondisi buruk yang terjadi jika India menurunkan volume ekspornya. Harga bahan makanan, khususnya beras, bakal melambung.
Bahkan, Emeria (2022) mengonfirmasi studi International Food Policy Research Institute bahwa India, Rusia, Mesir, Serbia, Aljazair, Kazakhstan, dan Kosovo melarang ekspor bahan pangan dari negaranya (Media Indonesia: 09/10/2023). Itu pertanda bahwa problem pangan masyarakat dunia makin nyata sebagai ancaman.
Tantangan dan permasalahan ketahanan pangan yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa, Negara dan pemerintah Indonesia adalah gangguan supply bahan pangan, penurunan permintaan produk pertanian, ancaman krisis pangan dan pembatasan dalam lapangan produksi. Terkait dengan permasalahan dan tantangan tersebut, sebagai langkah antisipasi pemerintah meluncurkan Program Lumbung Pangan Nasional (Food Estate).
Program ini masuk dalam RPJMN Tahun 2020-2024 dan dianggap sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang memiliki konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan dengan tujuan untuk meningkatkan cadangan pangan nasional. Namun, daya dukung terhadap program ini dinilai tidak maksimal, dan justru menuai kontroversi.
Aspek kebijakan tata kelola pangan menjadi salah satu hal yang kerap dipersalahkan dalam perjalanan sejarah pangan di negeri ini. Proyek food estate yang saat ini dinilai berdampak buruk terhadap lingkungan, kehidupan masyarakat adat, dan kerawanan pangan dalam kacamata historis sejatinya memiliki kausalitas dengan rangkaian kegagalan tata kelola pangan yang terjadi pada masa lalu.
Berkaca dari program food estate sebagai salah satu pilihan kebijakan untuk menggenjot produktivitas pangan negeri tepat, tetapi sayang program tersebut tidak berhasil mencapai target. Kajian Wisnu (2022), Nugroho (2022), Herinata (2022), dan Supriyanto (2023) di berbagai lokus program, semua menyimpulkan, implementasi program food estate tidak sukses, malah merusak ekologi, dan berimplikasi pada krisis iklim. Begitu pun masyarakat adat kehilangan identitas lokal dan mata pencarian, bahkan memiskinkan rakyat. (Media Indonesia: 09/10/2023)
Jadi, implementasi program food estate terbaca oleh publik bahwa program tersebut memang tidak didesain melalui perencanaan yang matang, tidak ada partisipasi bermakna dari stakeholders dalam melaksanakan program itu. Bahkan, bermasalah sejak awal. Tidak berpandu pada etika lingkungan (Environmental ethics), pengelolaannya tidak kompeten, dan kontroversial.
Dana besar yang dialokasikan pemerintah pada program food estate tidak ditopang desain konspetual sebagai program sistematis untuk mencapai target jangka pendek dan dapat berfungsi sebagai cetak biru (blueprint) untuk capaian jangka panjang ketahanan pangan di Indonesia (Media Indonesia: 09/10/2023).
Badan Pangan Nasional (Bapanas)/National Food Agency (NFA) menyebut ada 74 kabupaten/kota di Indonesia atau 14 persen yang masuk kategori rentan rawan pangan. Sedangkan, 86 persen daerah sisanya alias 440 kabupaten/kota masuk dalam kategori ketahanan pangan baik.
Masalah kerawanan pangan memang kompleks, dinamis, dan melibatkan lintas sektor. Hal ini bisa dilihat polemik di daerah rentan rawan pangan adalah produksi pangan yang lebih rendah dari kebutuhan nasional, tingginya prevalensi balita stunting, terbatasnya akses air bersih, dan masih tingginya persentase penduduk hidup miskin.
Berbicara isu pangan tidak terlepas dari nutrisi dan pupuk. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan isu pangan berkaitan dengan nutrisi dan pupuk. Dinamika geopolitik internasional, terutama perang Rusia-Ukraina, menjadi salah satu penyebab tingginya harga bahan pupuk dunia. Sehingga, hal itu berdampak pada meningkatnya harga pupuk di tingkat nasional maupun global.
Merespon isu krisis pangan yang disebabkan oleh berbagai faktor tersebut, Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) mengambil langkah konkret untuk mengembangkan solusi praktis yang menjamin ketahanan pangan dengan pembuatan peraturan badan terkait kesiapsiagaan krisis pangan.
Penerapan amanat dari UU No.18 Tahun 2012 dan PP No.17 Tahun 2015 mengenai penyusunan kebijakan kesiapsiagaan Krisis Pangan sudah dituangkan melalui Perbadan 19 Tahun 2023 tentang Kesiapsiagaan Krisis Pangan.
Dengan diterbitkannya perbadan ini, dapat menjadi pedoman bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk melakukan kajian dan program kesiapsiagaan krisis pangan. Ini adalah langkah yang diambil dan dijalankan NFA untuk mengantisipasi krisis pangan.
Diantaranya adalah dengan menyiapkan pasokan cadangan pangan pemerintah, penyaluran bantuan pangan terhadap daerah rentan rawan pangan, gerakan stabilisasi harga berupa (Gerakan Pangan Murah) GPM, serta gerakan penganekaragaman konsumsi berbasis pangan lokal.
Namun, langkah yang dijalankan NFA tersebut hemat penulis belum berdampak sampai ke masyarakat level paling bawah yang terdampak rawan pangan. Realita yang terjadi bahwa masyarakat yang berada di daerah rentan rawan pangan dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan tidak dapat menjangkau harga pangan, dalam hal ini beras yang terus meroket. Kondisi ini seharusnya perlu mendapat perhatian serius dari NFA.
Langkah yang diambil NFA, berupa penyaluran bantuan pangan, gerakan stabilisasi harga murah (GPM), serta gerakan penganekaragaman konsumsi berbasis pangan lokal harus tertuju pada daerah yang paling berpotensi rentan rawan pangan. Sehingga, langkah yang diambil NFA ini tepat sasaran dan bisa dirasakan langsung oleh masyarakat yang berada di daerah paling rentan rawan pangan.
Di akhir tulisan ini, hemat penulis Indonesia tengah dihantui pemikiran suram Thomas Robert Malthus dalam An Essay on the Principle of Population (1798) bahwa reproduksi manusia selalu berkembang lebih cepat daripada produktivitas hasil pertanian.
Mengutip opini Fadly Rahman (Jawa Pos; 04/10/2023) bahwa selama ini kita menilai bonus demografi sebagai modal masa depan Indonesia, ketika dihadapkan pada masalah krisis pangan yang perlu diantisipasi adalah petaka demografi akibat menurunnya kesejahteraan hidup masyarakat.
Dan, krisis pangan di negeri lumbung pangan seperti Indonesia yang dikaruniai tanah air subur dan makmur ini tentu sebuah ironi. Ironi karena ketika yang subur dan makmur tidak dikelola dari, oleh dan untuk rakyat, bukan kesejahteraan yang diperoleh, melainkan petaka yang menyengsarakan rakyat. *
Penulis: Dosen, Peneliti & Ketua Lembaga Penelitian-Pengabdian Masyarakat-LPPM STIM Kupang