Oleh : Pieter Sambut
PERJALANAN dari Borong menuju Mesi, kampung halamannya mekas Hila Japi, mantan jurnalis senior Flores Pos pada Kamis (21/9/2023) sangat melelahkan. Padahal jarak Borong-Mesi kurang dari 30 Km.
Hal itu gegara kondisi jalan yang sebagian rusak parah sejak dari Kisol hingga Mesi. Infrastruktur jalan buruk itu membuat pickup terbuka yang kami tumpangi oleng kiri kanan tak tentu arah, banting dan geser kiri kanan di atas bangku papan yang tidak disekap.
Perjalan tersebut benar-benar ibarat menikmati goyangan “Gemufamire: “Putar ke kiri e….nona putarlah ke kiri ke kiri dan kiri….manise, sekarang ke kanan e….nona putarlah ke kanan ke kanan dan kanan manise….” (Mekas Hila pasti ingat goyangan gadis-gadis cantik di tempat terapi di lantai dasar Kalibata Mall, Jakarta Selatan).
Putra bungsu saya (Pieter Sambut) Petrus Julianus Venantio yang ikut mendampingi mekas Hila selama dan sejak dari Jakarta nyeletuk, “Pa…..jalan ke kampungnya om Hila ini lebih ganas dari arus dan gelombang selat Bali. Ampun deh…….”
“Enjoy your trip my boy. Ini Manggarai Timur. Alamnya subur dan hijau dibandingkan dengan Lombok, Bima dan Manggarai Barat, tapi mendapat label miskin ekstrim. Papa tidak tahu apa yang salah. Alam Matim yang tidak bersahabat atau…?,” kata saya sambil menunjukkan tanaman cengkeh yang tumbuh subur di kiri kanan jalan menuju Nunur, desa Mbengan, Kota Komba.
“Lihat itu nana….. cengkeh-cengkeh itu. Ini di kampungnya Rm. John Djonga, Pr, peraih Yap Thien Hien Award 2009 karena kontribusinya sebagai pejuang HAM, kesetaraan gender dan keutuhan ciptaan di tana Papua. Belum lagi komoditas perdagangan lainnya. Manggarai Timur dikenal dengan EMAS HIJAU-nya. Tanah Manggarai Timur sangat subur dan kaya,” tambah saya. Dia hanya manggut-manggut sambil toleh kiri kanan.
Setelah menempuh perjalan selama hampir 3 jam, kami tiba di depan rumah kaka Nadus, kakak tertua mekas Hila. Seluruh anggota keluarga Saghe menyerbu mobil pickup, menyambut mekas Hila dengan sukacita.
Satu persatu memeluk dan mencium mekas Hila dengan deraian air mata sukacita. Sukacita mereka semakin membuncah ketika mekas Hila berjalan pakai tongkat di tanah berbatu, tanpa dibimbing menuju rumah.
“Morin…… terimakasih. Deee…..syukur kepada Tuhan. Terimakasih pa Piet agu Lalong,” ujar kakak iparnya mekas Hila, Martina Ndighi sambil menyeka air mata.
Mekas Nadus saat itu tidak di tempat. Beliau Ketua Komite Sekolah dan tokoh adat lokal. Ada rapat komite.
Beberapa saat kemudian kaka Nadus datang. Orangnya masih gagah, lebih ganteng dari mekas Hila. Usianya 70 tahun, lebih tua 2 tahun dari mekas Hila.
Saya langsung minta izin untuk bicara.
“Io….io….woko sai ga ze’e lutur agu ri’i mbaru ata Saghe, ae naring Mori jari ata palong agu karong nggami pu we’an Jakarta nang ze’e natar Mesi eghi. Ata zuan, naring kole one siza embu nusi uku Saghe ata do’ok one ngong deri one legi nggami nang sai ze’e. Ata telun, ae…. ange manga ata tepo agu rewak wero mezon suan ata mbaen wone nggami, oe…neka tolo betang, neka tolo babang. Eghi goet za’o.”
(“Io….karena kami telah tiba dengan selamat di rumah orang Saghe, kami memuji dan memuliakan Tuhan yang telah menuntun kami sejak dari Jakarta hingga di kampung Mesi ini. Kedua, kami menghormati leluhur suku Saghe yang menopang kami hingga di sini. Ketiga, apabila ada yang meninggal di suku ini beberapa waktu lalu dan kami tidak hadir, mohon jangan bertanya siapa kami. Ini tanda duka kami”).
Mata kaka Nadus tampak berkaca-kaca mendengat dan menjawab “lorang” (ucapan dan uang duka) yang saya sampaikan.
Dengan terbata-bata menahan tangis dia meneruskan “lorang” saya kepada arwah kedua orang orangtua dan nenek moyangnya, sambil memanjatkan doa agar kami diberi kesehatan dan kesuksesan dalam hidup.
Selanjutnya kaka Nadus mengambil debotol bir sebagai simbol ketulusan dan kebesaran hati seturut adat Manggarai dan melakukan ritual penyambutan dan ucapan terimakasih setinggi langit karena telah mengurus mekas Hila selama di Jakarta, dari lumpuh total hingga bisa berjalan ketika menginjakkan kaki di tanah Manggarai.
Saya menjawabnya secara adat yang intinya, “Jangan berterima kasih kepada saya dan keluarga, karena saya hanya salah satu skrup kecil dalam mengurus mekas Hila, terutama secara finansial.
Terlalu banyak pihak yang membantu sehingga kami tiba di sini dan saya serta putra saya kembali ke Jakarta. Sambutlah mekas Hila, dia sudah mati tapi hidup lagi dan sudah lama hilang tapi kembali lagi.”(Lukas 15: 11-32).
Saya mengajak seluruh anggota keluarga untuk bersyukur kepada Tuhan atas mukjizat yang boleh dialami oleh mekas karena kasih Tuhan yang tak bertepi dan kerahiman-Nya yang tak berkesudahan.
Saya juga mengajak keluarga besar mekas Hila untuk segera nyekar ke makam leluhur dan melakukan rekonsiliasi secara kultural dengan para leluhur dengan ritual “dou ghan/teing hang.”
Sebab mekas Hila telah melakukan rekonsiliasi secara spiritual dengan Tuhan melalui “blessed healing” oleh Mgr (Emeritus) Mikhael Angkur, OFM di rumah peristirahatannya di Gorontalo, Labuanbajo, persis di depan jalan premium menuju spot wisata Golo Mori, di bibir selat Molo, Manggarai Barat.
Kaka Nadus dan keluarga tak ingin kami cepat kembali ke Leke, Kisol, kampungku. Dia ingin kami bermalam. Rupanya mekas Nadus terhipnotis oleh dengan lirik lagu nostalgia yang dibawakan oleh Franky & Jane Sihalatua, “Kemesraan ini…. janganlah cepat berlalu.” Hehehe….
Tapi waktu dan urusan lain yang membuat kami harus berpisah. Saya, putra saya dan adik saya Adol Nado yang menemani kami dari Borong ke Mesibmohon pamit dengan penuh sukacita.
Sebab saya menyerahkan mekas Hila dalam keadaan bisa jalan dan keteter yang selama ini menjadi ekor panjangnya telah dilepas oleh tim Dinas Kesehatan Manggarai Barat, enu Hilde Manis (mantan murid saya di SMAK Pancasila Borong) dan 2 rekan sejawatnya, yang sayang saya tidak tanya namanya.
Suasana haru dan deraian air mata perpisahan tak terbendungkan. Kebersamaan selama kurang lebih 3 jam rupanya sangat mengesankan bagi keluarga Saghe.
Dari yang tertua hingga anak kecil menangis tersedu-sedu mengiringi kami meninggalkan kampung Mesi, Rana Kolong yang tetap asri di tengah kemarau panjang.
Tangisan mereka semakin menjadi-jadi ketika mekas Hila berteriak sambil menangis dari kursinya, “Pie…..gau ledo tu’u zao e….?” (Pie…..kau benar-benar meninggalkan saya?”).
Pengemudi pickup yang mengantar kami turut hanyut dalam suasana haru. Diapun tanpa menitikberatkan air mata.
“Be strong mekas. I wait you in Jakarta next time,” pesan saya sambil mendendangkan kembali lagi favorit kami selama di Kereta Api Gumarang Jakarta-Surabaya, KM Dharma Rucitra 8 Tanjung Perak Surabaya-Waekelambu-Labuanbajo dan travel Labuanbajo-Borong,”Lelak Loce Renda.”
Hormat dan pujian kepada Allah Tritunggal Maha Kudus, Bunda Maria dan para Malaekat Agung di surga yang telah menunjukkan kemuliaan-Nya dengan memulihkan rekan kami mekas Hila dan kami yang mendampinginya selama ini.
Terimakasih kepada semua sahabat, para donatur, rekan-rekan jurnalis, Dinas Kesehatan Manggarai Barat dan Kadinkes Manggarai, kaka Piet Salamin dan keluarga dan para pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu mekas Hila dan memperlancar perjalanan kami hingga tiba dengan selamat, sehat dan bugar di Mesi.
Semoga lekas pulih mekas Hila. Kami merindukanmu. “Dalam Yesus kita bertemu ….” ***
Penulis: Wartawan Senior, tinggal di Jakarta