RUTENG, FLORESPOS.net-Dalam masa Prapaskah, orang Kristiani harus berpuasa, bersedekah, dan berdoa. Berpuasa berarti membatasi aktivitas konsumtif dan jika dilakukan secara konsisten, maka bisa mengurangi eksploitasi alam di Manggarai raya ini.
Dalam kopian Surat Gembala Prapaskah/Paskah 2023 yang diterima wartawan, Kamis (9/3/2023), Uskup Diosis Ruteng, Mgr. Sipri Hormat mengatakan, tahun ini, Keuskupan telah mencanangkan program pastoral “Tahun Ekonomi Berkelanjutan yang Sejahtera, Adil, dan Ekologis (SAE)”.
“Motto ini sangat relevan dan cocok dengan tradisi puasa (pantang), sedekah dan berdoa dalam masa Prapaskah ini,” katanya.
Dikatakan, melakukan puasa dan pantang, sesungguhnya mengolah dan mengendalikan diri, agar hati semakin terbuka lebar bagi sesama yang menderita.
Menurutnya, puasa adalah bagian dari gerakan ekonomi yang solider. Melalui puasa dan pantang, siapapun membatasi kebiasaan makan-minum (konsumtif). Dengan itu, bisa mengurangi eksploitasi alam. Hal ini merupakan bagian dari gerakan ekonomi yang ekologis.
Selanjutnya, dengan bersedekah, siapapun terlibat dalam gerakan memuaskan lapar dan dahaga sesama yang menderita; maka, sedekah adalah wujud nyata ekonomi yang berbagi.
Dengan berdoa, siapapun mengungkapkan bahwa seluruh aspek kehidupan hanya memperoleh makna dan pemenuhannya yang sejati ketika terarah kepada persatuan dengan Allah.
Uskup Sipri mengatakan, gerakan ekonomi SAE juga bertolak dari peristiwa salib Tuhan, yang direnungkan dan dihayati secara khusus dalam masa Prapaskah ini.
“Yesus memikul salib, bukan sekadar untuk berbelarasa dengan manusia yang menderita; melainkan salib sesungguhnya merupakan protes terhadap segala bentuk penindasan, pemerasan, kemiskinan dan kekerasan di tengah dunia ini,” katanya.
Salib, demikian Uskup Sipri, adalah ungkapan perjuangan Tuhan untuk membangun dunia baru yang adil, sejahtera dan manusiawi.
Salib adalah gerakan keluar dari egoisme, termasuk keluar dari lingkaran ekonomi yang hanya terarah kepada profit/keuntungan, menuju ekonomi yang mengabdi pada martabat pribadi manusia dan melayani kesejahteraan bersama.
Ketua Komsos Rm. Erik Ratu Pr, sebelumnya mengatakan, dalam Surat Gembala itu, Uskup Sipri juga menekankan bahwa salib adalah sebuah protes terhadap ekonomi narsis, dan sebuah proklamasi ekonomi solider.
“Karena itu, Jalan Salib bukanlah sekadar ekspresi emosional yang terharu dan iba dengan Tuhan yang menderita, melainkan merupakan gerakan solidaritas untuk membangun kehidupan bersama yang sejahtera, adil dan bahagia,” katanya.
Dengan demikian, perjuangan mewujudkan ekonomi berkelanjutan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ziarah iman yang mengikuti jalan salib Tuhan.*
Penulis: Christo Lawudin / Editor: Wentho Eliando