Si kakak menggelengkan kepala, pertanda air mata sangat berharga, tak sembarang dibiarkan menetes. Namun apa hendak dikata, bersamaan dengan gelengan kepala, matanya memejam, dan air mata pun jatuh.
SUATU hari jelang sore. Awal September 2022. Relawan KKI menghampiri rumah seorang Ibu penderita gangguan jiwa di sebuah kampung di wilayah Kabupaten Belu, Pulau Timor. Di rumah itu, Sang Ibu ditemani dua anaknya yang masih gadis belia.
Saya menyaksikan dua gadis belia yang sangat sederhana itu membersitkan dua ekspresi wajah yang sangat berbeda. Si kakak tersenyum, si adik muram.
“Ayah di mana?” “Di kebun,” jawab mereka.
“Ya lain lagi?” “Kami anak berdua saja,” lanjut mereka.
Mata kami semua tertuju pada Sang Ibu yang berbicara tak karuan. Sangat kacau. Nada suaranya cukup tinggi. Sangat nyaring.
Saya sesegera mungkin merengkuhnya. Memeluknya erat-erat. Sang Ibu juga memeluk saya, tak kalah erat.
“Ibu baik-baik saja?” “Ya saya baik-baik saja,” katanya.
“Tapi tidur malam kurang aman?” “Ya betul,” tukasnya. “Saya merasa terganggu sekali,” lanjutnya.
“Kamu mau jemput saya?” lanjutnya lagi. “Betul,” jawab saya. “Sebentar kita segera pergi,” lanjut saya meyakinkan.
“Ya, kapal sudah tunggu. Kita jalan sudah,” sambungnya.
Saya melanjutkan, “Ibu tidur kurang aman. Harus minum vitamin.” “Ya saya harus minum vitamin. Mana vitamin?” sambutnya.
Usai minum vitamin, kepadanya, relawan berikan sebuah roti. Ia menghabisinya dengan sangat cepat. “Rupanya ia ingin hidup seribu tahun lagi,” begitu saya membatin spontan ingat akan kata-kata Chairil Anwar.
***
Saya dan Sang Ibu duduk berdampingan. Dan sambil memulai dialog dengan si kakak, tangan kiri saya terus memeluk dan menepuk-tepuk pundak Sang Ibu sekadar membuat ia sedikit lebih tenang dan teduh.
Terhadap setiap pertanyaan yang saya ajukan kepada si kakak, ia menjawabnya dengan lancar. Namun matanya berbinarkan air. Ia tampak tegar. Ia berjuang untuk menahan air mata agar tidak membasahi lesungan pipinya.
Jawaban-jawabannya mengandung daya. Jawaban-jawaban itu lahir dari rasa yang perih dan akal yang buntu yang ia gumuli semenjak Sang Ibu didera derita gangguan jiwa pada 2019 silam.
Sebagai anak-anak yang baru menginjak masa remaja dan dewasa awal, hidup bersama Sang Ibu dengan sakit yang tak masuk pada akal dan tak kunjung usai, adalah sebuah keadaan yang sangat mereka tidak harapkan. Namun toh mereka harus hadapi semuanya itu.
Rasanya keadaan Sang Ibu menyebabkan mereka melewati malam selalu tak nyaman. Keadaan Sang Ibu menyebabkan mereka kurang bergaul dengan teman-teman sebaya. Atau pun di lingkungan sekolah, mereka kurang ceria sebagaimana anak-anak seusia.
“Kalau ingin menangis, silakan,” tutur saya mengizinkan. Si kakak menggelengkan kepala, pertanda air mata sangat berharga, tak sembarang dibiarkan menetes. Namun apa hendak dikata, bersamaan dengan gelengan kepala, matanya memejam, dan air mata pun jatuh.
Kami diam seribu bahasa. Hening. Ya kecuali Sang Ibu yang terus mengajak saya untuk segera beranjak dari rumah, entah ke mana pun ia kehendaki.
Tangan kiri saya yang terus menepuk lembut pada pundaknya setidaknya menandakan bahwa beranjak pergi dari rumah adalah bukan sebuah solusi untuk menghentikan air mata si kakak. Si adik yang berdiri terpaku di sudut ruang tamu itu tampak menunduk muram. Pilu, perih, dan letih.
***
Tak begitu lama kami berada bersama mereka di rumah sederhana itu. Setelah memberikan satu dua materi kesehatan jiwa dan meneguhkan mereka untuk terus berjuang dan melangkah maju, kami pun harus pamit lantaran harus menghampiri rumah lain yang di dalamnya ada juga penderita gangguan jiwa.
Saat berpamitan itulah, dua gadis belia itu menghampiri saya dan memeluk erat-erat, seakan-akan tak mengizinkan kami relawan untuk meninggalkan mereka.
Sore itu, bersama terbenamnya mentari di ufuk barat, kakak beradik itu menumpahkan air mata yang mereka tahan selama perjuampaan penuh kekeluargaan dan solidaritas itu.
“Kalian berdua masih sangat muda belia. Masa depan kalian masih sangat panjang.” Mereka mengangguk sambil tak henti-hentinya mengelap air mata yang membasahi pipi dengan tangan hampa.
Saya melanjutkan, “tetaplah tatap masa depan kalian. Raihlah itu.Kalau merasa canggung dalam bergaul dengan tetangga, janganlah tenggelam dalam kecanggungan. Kalau merasa minder berada di tengah kawan-kawan sebaya, segeralah beranjak dari perasaan itu. Sebab kalian mempunyai hak untuk menari-nari bahagia di atas panggung dunia yang mahaluas ini.”
Dengan suara lembut, si kakak merespons, “sudah berkali-kali kami membawa Ibu ke dukun dan pendoa. Sudah lelah. Ia tak kunjung pulih.”
“Kalian sama sekali tidak dilarang untuk lelah. Sebab perjuangan apa pun tentu ada lelahnya. Namun segeralah bangkit. Ibu akan segera pulih. Tentu membutuhkan waktu yang cukup. Sebab Ibu sudah tiga tahun menjalani sakit tanpa pertolongan yang tepat. Sebagaimana kalian mengharapkan Ibu lekas pulih, demikianlah juga Ibu. Ia merindukan anak-anaknya menjalani hidup dengan bahagia dan penuh semangat.”
***
Sebagai gadis-gadis belia yang masih berproses mencari jati diri, wawasan mereka tentang hidup dan persoalannya tentu belumlah memadai, termasuk dalam menghadapi penderitaan yang Ibu mereka alami.
Namun satu hal yang pasti pada diri mereka bahwa penderitaan Sang Ibu adalah penderita mereka jua. Kepulihan Sang Ibu dari derita adalah juga kepulihan semangat mereka dalam melanjutkan ziarah hidup yang masih panjang.
“Kita berdoa setekun-tekunnya buat kepulihan Ibu ya,” tutur saya menutup perjumpaan sore itu.*
Penulis: Pendiri Relawan Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa NTT